Perkenalkan nama saya Arshinta, umur 38 tahun. Saya menikah dan memiliki dua anak. Saya ingin berbagi pengalaman mengarungi bahtera rumah tangga yang sudah berjalan sepuluh tahun dan menemukan nilai-nilai yang membuat saya banyak belajar dan tentunya membentuk karakter saya ke arah yang lebih baik.
Jika pasangan lain mendefinisikan jodoh adalah kecocokan, mungkin saya sedikit berbeda. Dilihat dari karakter, saya dan suami sangatlah berbeda jauh. Saya menyadari ada sedikit hal-hal yang cocok di antara kami berdua. Suami saya lebih suka menghabiskan waktu menonton film di bioskop atau sekadar jalan-jalan menghilangkan kepenatan setelah beraktivitas, sementara saya lebih suka di rumah. Suami suka menjajaki tempat-tempat baru, saya lebih suka menjajaki makanan baru. Bukan hanya kesukaan, sikap dan sifat sampai cara menyelesaikan perkara pun berbeda.
Sebelum menikah, saya dan suami adalah partner dalam bekerja. Dimulai dari dunia pekerjaan itulah cinta bersemi sampai kami memutuskan untuk menikah. Sedari awal saya menyadari ego membuat kami lebih mudah berdebat. Beberapa kali kami justru membuat badai berembus semakin kencang. Memang sulit menyatukan dua orang yang sama-sama keras kepala. Tapi kami tidak pernah menyerah. Mungkin ini bagian dari kehebatan cinta. Ego kita harus siap bertekuk lutut dan hati kita harus saling memeluk bukan hanya untuk menanti badai reda, melainkan untuk tetap berjalan ketika badai itu terjadi.
Bisa dikatakan suami saya merupakan tipe ekstrover, sedangkan saya cenderung introver. Kalau dipikir-pikir sangat unik ya, Ladies. Tapi itulah hebatnya Tuhan, kita tidak pernah tahu apa rancanganNya bagi hidup kita. Saya sendiri hanya percaya rancangan Tuhan pasti yang terbaik. Pada masa awal pernikahan harus saya akui bahwa membina rumah tangga memang tak mudah. Tak seperti sebelumnya, saya yang terbiasa melakukan segala sesuatu seorang sendiri harus berubah haluan menjadi perempuan yang mau mempertimbangkan banyak hal untuk mengambil satu keputusan kecil.
Dahulu saya memiliki kebebasan, sekarang saya harus pintar membagi waktu antara urusan pribadi, suami, dan bertambah prioritas yaitu anak. Namun hal ini tidak saya sesali melainkan saya syukuri karena inilah komitmen saya. Selama hampir 10 tahun menjalani pernikahan banyak hal telah saya pelajari dari suami tentang nilai-nilai sederhana. Itulah yang membangun kualitas dalam diri saya. Salah satunya adalah nilai kesetiaan:
1.Setia bisa dimulai dari hal-hal kecil namun berdampak. Contohnya adalah rutinitas kami sekeluarga, doa bersama setiap pagi, kebiasaan yang dibentuk suami saya sejak kami masih berdua. Kata suami saya, “Sebelum memulai segala aktvfitas duniawi, mengucap syukurlah terlebih dahulu dan refleksikan apa saja kebaikan-kebaikan yang sudah Tuhan berikan. Ini merupakan proses untuk mendewasakan diri dan bentuk kesetiaan kita kepada Tuhan karena kita sadar tanpa Dia kita bukan siapa-siapa”.
2. Setia bisa dilakukan dengan cara sederhana. Saling terbuka dan menjaga komunikasi menurut saya adalah cara sederhana untuk menunjukan kesetiaan. Saling terbuka berarti kita menghargai pasangan dan mempunyai kepercayaan terhadap pasangan kita. Ini merupakan bentuk kesetiaan kita terhadap pasangan.
3. Finish what you started, Saya memilih untuk berkomitmen dalam pernikahan maka saya harus menjalani prosesnya sampai akhir sesuai janji yang diucapkan di hadapan Tuhan yaitu sampai kematian memisahkan. Saya seorang istri, seorang ibu, dan juga seorang pekerja. Menjalani ketiganya sudah menjadi pilihan saya. Ini adalah bentuk kesetiaan kita terhadap diri sendiri. Lakukanlah apa yang sudah menjadi pilihan kita, selesaikan dengan baik sampai akhir apa yang sudah kita mulai.
4. Setia itu milik bersama. Sebagai suami, laki-laki harus memiliki kesetiaan sebagaimana para perempuan sebagai istri juga memiliki kesetiaan. Tidak ada yang harus dituntut lebih untuk memiliki kesetiaan itu. Harus adil. Saat berdekatan maupun berjauhan, kesetiaan itu adalah milik bersama.
BACA JUGA : Ketika Aku Salah Mengambil Keputusan