Aku perempuan pekerja profesional dengan tiga anak. Aku pernah merasa beruntung sekali bisa menikahi pujaan hatiku, cinta pertamaku. Selain ganteng, pacarku sangat manis dan penuh perhatian. Setiap hari aku dijemput pulang kantor. Saat tidak bisa menjemput dia akan mengirim surat atau bunga untuk diriku. Aku benar-benar merasa spesial. Dia juga rajin bekerja dan berambisi menjadi kaya dan sukses. Aku merasa tidak harus menjadi seperti perempuan-perempuan yang mendorong-dorong pacarnya untuk giat mencari nafkah.
Ketika itu, saat kami masing-masing sedang asyik mengejar karier, tiba-tiba dia melamarku. Perfect story, ya? Aku pun menerimanya dengan luapan rasa bahagia. Dia adalah pacar pertama, ideal di mataku dan orang lain, dan menikah pun kami tepat waktu. Kebetulan aku selalu percaya bahwa kita harus menjalankan segala sesuatu dalam hidup ini dengan sebaik-baiknya. Termasuk soal pacar. Jangan mudah ganti-ganti pacar. Kalau pacaran sudah cocok lebih baik langsung menikah. Setelah menikah pun harus bersetia sampai akhir hayat.
Belum lama menikah aku hamil. Aduh, pokoknya too perfect to be true! Aku sampai merasa hidupku ini beruntung terus. Karier kami masing-masing pun baik-baik saja. Namun setelah perjalanan kehamilan bulan ketiga aku merasa dia mulai sedikit acuh tak acuh. Mungkin karena sering berada di kamar, tanpa sengaja kulihat notifikasi Whatsapps-nya yang intinya rayuan dan ajakan dari perempuan lain untuk bermalam. Sepertinya itu bukan ajakan pertama kali. Seketika emosiku pun kacau. Aku sedih sekali. Betapa tidak. Aku menganggap pernikahan kami itu adalah pernikahan yang sempurna.
Singkat kata, suamiku mengakui perselingkuhannya, dengan alasan kehamilanku. Dia berjanji tidak akan mengulangi. Meski hati ini sedih sekali tapi aku harus bisa mengontrol perasaan. Aku mau buah hatiku terlahir dengan baik.
Anak pertamaku lahir. Bukannya berhenti, suamiku malah lebih sering berselingkuh. Cuma karena aku percaya semua orang punya kesalahan dan sifat buruk maka aku selalu berusaha mengingatkannya baik-baik. Aku tetap merasa dia adalah my first love. Aku percaya semua bisa kembali baik-baik saja. Aku sangat mencintainya, tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya. Aku juga harus berpegang pada prinsip untuk menikah cukup sekali sampai akhir hayat.
Aku mengambil jalan kompromi. Jika dia selingkuh, paling tidak dia tetap seorang suami dan bapak yang baik di rumah. Aku berusaha menutup sebelah mata, berharap suatu saat dia tahu betapa keluarganya mencintai dan membutuhkannya dan betapa tindakannya itu menyakiti hatiku. Aku berusaha menjadi perempuan yang baik dan sabar dan berusaha menutupi kesedihan serta kekecewaan setiap kali dia pulang ke rumah. Waktu terus berjalan, anak kami bertambah menjadi dua.
Aku kadang bingung apa yang dicarinya dari perempuan-perempuan itu. Kehidupan seks kami baik, semua kebutuhannya terpenuhi di rumah. Belum lagi anak-anak kami lucu-lucu, energik, dan cerdas. Kupikir kalau suamiku belum merasa nyaman di rumah berarti akulah yang kurang baik jadi istri. Aku mulai belajar masak lebih enak lagi, mati-matian meng-upgrade penampilan, merawat anak-anak dengan sebaik-baiknya, supaya aku bisa menjadi yang TERBAIK untuk suamiku. Kadang kalau dia punya makanan favorit aku bisa membuat 4-5 versi makanan itu.
Tapi semua usahaku sepertinya sia-sia. Dari waktu ke waktu dia semakin tak peduli. Tiap kali kutanya atau kuegur dia bisa meledak, bahkan secara fisik. Mula-mula hanya mendorong, lantas memukul. Bentakan-bentakannya sudah menjadi makananku sehari-hari. Kalau sudah tidak kuat aku juga jadi emosi, tapi apa yang terjadi? Badanku makin lebam-lebam, belum perut sakit karena kena hajar.
Yang lebih memalukan adalah dia mulai berselingkuh dengan istri orang lain. Beberapa dari mereka bahkan menelepon dan menghinaku. Ada juga suami-suami yang marah padaku, menganggap aku tidak cakap menjaga suami. Hidupku penuh sedih berkepanjangan tapi aku tetap pegang prinsip menikah sekali saja sampai akhir hayat dan tidak mempermalukan keluarga dengan perceraian. Apa nanti kata orang? Apa nanti kata ibuku? Aku berusaha “bahagia” dengan bekerja keras di kantor. Pulang ke rumah? Sudah lain cerita. Pernah aku tiba-tiba membuka laptop-nya, sialnya aku menemukan file yang salah. Terlihat beratus-ratus foto perempuan dalam pose tidak senonoh, beberapa malah bersama suamiku. Emosi makin tidak terkontrol, aku sering depresi. Marah salah, tidak marah tidak mungkin, kecewa apalagi. Curhat kepada ibu mertua selalu mendapat jawabannya sama: Kurang tegar dan kurang dewasa sebagai istri, maafkan dan terimalah, dia sudah jadi bagian dari dirimu.
Tapi memang mungkin ini jalan Tuhan. Seorang kolega kantor yakin saya tidak “baik-baik saja” dari make-up tebal yang kukenakan untuk menutupi bekas pukulan. Mulanya aku berkelit, tapi akhirnya semua kubuka. Teman kantor ini mengingatkan diriku bahwa aku juga harus menyayangi diriku sendiri. Aku harus bisa menjaga keselamatan diriku demi masa depan anak-anakku. Menurut temanku tingkat kekerasan yang dilakukan suamiku meningkat dari waktu ke waktu. Bukan tak mungkin suatu saat suamiku kalap dan mengambil benda tajam.
Teman ini juga mengingatkan, walau prinsip hidupku baik dan benar adakalanya kita harus bisa memastikan jiwa kita aman dan selamat di atas prinsip-prinsip itu. Apa gunanya prinsip kalau aku bisa mati konyol? Apa jadinya anak-anakku jika sampai diurus oleh ibu tiri yang tidak menyayangi mereka? Mau sampai kapan aku menunggu suamiku berubah? Belum lagi ancaman aku tertular penyakit kelamin.
Akhirnya, sesudah dipenganiayaan terakhir, aku langsung pergi ke rumah sakit untuk visum dan menyerahkan hasilnya ke kepolisian. Setelah itu, dengan berbagai cara aku pun minta cerai. Itu pun sulit. Aku sempat melarikan diri bersama anak-anak, anak-anak pun pernah diculik.
Tapi semuanya sekarang tinggal memori.
Sekarang aku dan anak-anak tinggal di sebuah rumah yang aman, dekat dengan orangtuaku. Sekarang, delapan tahun kemudian, traumaku sudah sembuh. Aku tidak lagi bersedih mengingat perkawinanku dulu. Aku belum kembali menikah, tapi hari-hariku bahagia dan tenang. Pulang ke rumah menjadi sesuatu yang kunantikan. Karierku melonjak, aku bisa menjadi direktur nasional sebuah perusahaan internasional.
Sekarang aku merasa beruntung telah memilih untuk bercerai, walau gagal memenuhi ikrar untuk menikah sekali seumur hidup. Aku sadar, tidak semua hal dalam hidup ini hitam dan putih. Terkadang kita harus bsa menimbang dengan bijak prioritas-prioritas yang ada dan sanggup membuang semua yang pada akhirnya hanya membawa kita ke dalam keadaan mental, emosional, dan fisik yang buruk.
Semoga kisah yang kubagi ini berguna bagi perempuan-perempuan yang pernah atau masih berada dalam posisiku dulu. (*)