Urbanwomen – Ketika seseorang bercerita mengenai pengalaman masa lalu, banyak di antara kita yang kerap mengatakan “move on, ya” dengan harapan orang tersebut tidak lagi sedih dan bisa meneruskan hidup. Tapi, apakah semudah itu?
Untuk move on kita perlu pemahaman tentang masa lalu. Setiap manusia pasti memiliki masa lalu sebab kita hidup dalam dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Tetapi banyak orang terjebak pada masa lalu seakan masa lalu itu mewakili seluruh kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Sebut saja namaku Murni. Aku adalah perempuan karir yang sudah punya jabatan saat berpacaran dan kemudian menikah. Suamiku laki-laki dengan jabatan dan penghasilan lebih rendah. Selama awal masa pacaran sampai menikah hal itu tidak menjadi masalah meskipun aku lebih banyak mengeluarkan uang untuk biaya rumah tangga dan kehidupan sehari-hari. Relasi kami cukup baik. Suamiku sangat mendukungku dalam berkarir serta tidak pernah mempermasalahkan keterbatasan waktuku dengan keluarga. Kami juga dianugerahi anak yang sehat dan menggemaskan.
Sampai suatu hari baby sitter anakku mengaku telah dihamili oleh suamiku. Aku sangat shock, dan merasa langit runtuh. Pertengkaran tidak bisa dihindari, perkawinan pun sulit dipertahankan. Semula aku tidak bisa memaafkan, tapi aku berusaha keras mempertahankan rumah tanggaku. Aku dan suami bersepakat untuk membesarkan anak itu setelah lahir.
Tapi apakah masalah berakhir? Jika ini cerita sinetron, mungkin ada happy ending karena sepertinya cinta akan menemukan jalan kesejatiannya. Sayangnya, ini bukan cerita sinetron. Beberapa tahun kemudian aku terserang panic attack, membuatku harus bolak-balik masuk rumah sakit setiap kali aku gusar atau panik. Kinerjaku di kantor menjadi tak baik. Aku pun memutuskan untuk resign. Aku sendiri berusaha keras melawan gangguan itu. Aku mencari banyak informasi dan akhirnya ikut kelas meditasi untuk mengurangi rasa panik yang muncul secara tiba-tiba. Benar saja, meditasi bisa membantuku menjadi lebih tenang, lebih positif, dan perlahan dapat menerima semua kejadian di masa lalu.
Dari pengalaman itu aku belajar bahwa jika aku membiarkan diri sendiri terjebak dalam masa lalu kelam aku sendirilah yang merasakan penderitaan itu, bukan orang lain. Aku kini juga bisa lebih fokus menata masa depan, agar semua kecemasanku tentang masa depan tidak terjadi.
Setelah kondisiku sudah jauh membaik aku kembali melamar pekerjaan dan menunjukkan pada dunia serta diri sendiri bahwa aku bisa bangkit. Aku menjalani hidupku dengan lebih ringan bersama suami serta ketiga anakku. Meski salah satunya bukan darah dagingku, namun aku membesarkannya dengan cinta kasih seperti anakku sendiri. Bahkan Tuhan juga bukan hanya memulihkan diriku, mengembalikan keseimbanganku, tapi juga menambah kebahagiaanku dengan rezeki yang lebih dari sebelumnya. Semoga dari kisahku ini kita dapat menerima masa lalu kita, agar hidup damai di masa sekarang.
Salam Move On. (*)