Bekerja 18 jam Sehari Hanya Demi Cicilan

Bekerja 18 jam Sehari Hanya Demi Cicilan

Kewanitaan

Salah satu hal yang menyenangkan dari menjadi orang dewasa adalah bisa menghasilkan uang sendiri, tidak lagi bergantung pada uang dari orangtua. Mungkin itu yang membuatku atau fresh graduate lainnya sering tidak bijak menggunakan uang. Terlebih aku juga belum mengantongi literasi keuangan sebagai dasar pengelolaan keuangan pribadi. 

Sejak tamat kuliah 8 tahun lalu aku diterima bekerja di salah satu media yang cukup ternama. Pekerjaanku mungkin tidak memberi penghasilan tinggi, tapi memberikan kebanggaan tersendiri. Bukan hanya itu, aku juga mendapatkan privilege untuk berinteraksi dengan figur publik yang mau tak mau menyeretku dalam pergaulan yang cukup glamor. 

Sebagai anak muda yang menemukan lingkungan baru dan menggenggam kebebasan mengelola uang sendiri aku seringkali menghabiskan penghasilan untuk membeli barang-barang mewah, makan di restoran mahal, serta bersenang-senang ke diskotik. Maklum saja, lingkungan di bangku kuliah juga seperti itu. Namun dulu aku lebih terbatas menjalankannya karena masih mengandalkan uang orangtua. 

Sebagai sarjana ilmu komunikasi karierku memang tidak pernah jauh dari media. Setelah pindah dari radio aku bekerja di sebuah perusahaan asing sebagai copy writer. Hasratku untuk membeli barang-barang mewah seolah kian menjadi-jadi. Aku bahkan nekat mencicil mobil seharga ratusan juta, mencicil gadget terbaru setiap kali rilis, membeli pakaian-pakaian bermerek hampir setiap bulan. Dengan semua pengeluaran itu tentu saja penghasilanku tak pernah cukup. Aku bahkan terpaksa mencari sampingan untuk menyambung biaya hidup sampai akhir bulan. 

Gaya hidup seperti itu akhirnya membuatku merasa lelah dan sia-sia. Aku menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk menjaga eksistensi dalam lingkungan sosial yang kubanggakan, tapi aku sendiri merasa sangat lelah karena harus bekerja keras tanpa hasil yang bermanfaat di masa depan. 

Setahun belakangan aku sadar harus mengubah gaya hidup. Kujual sepatu, tas, pakaian, dan aksesoris mewahku. Aku tidak lagi memaksakan diri mencicil gadget terbaru jika tidak membutuhkannya. Kalaupun butuh, aku akan berusaha menabung agar bisa membayarnya secara tunai. Aku mulai mengurangi bepergian menggunakan mobil untuk mengurangi biaya bensin, tol, dan parkir. Aku membatasi frekuensi makan ke restoran mahal. Aku mulai menabung dan membeli asuransi.

Saat itu aku berpikir usiaku sudah semakin banyak dan sepatutnya aku memikirkan masa depan agar bisa hidup dengan nyaman. Aku juga tak bisa hanya egois membahagiakan diri sendiri, tanpa mau tahu dengan keluarga. Rasanya sudah cukup aku bersenang-senang selama ini. Awalnya memang berat untuk mengubah kebiasaan, tapi aku sudah membulatkan tekad. 

Keputusanku untuk lebih bijak mengelola keuangan tentu saja berimbas pada pergaulanku. Absennya aku dalam berbagai kesempatan membuatku perlahan terlupakan oleh beberapa teman figur publik. Dan ketika aku berjumpa dengan mereka kehangatan mereka terasa berkurang. 

Meski begitu aku tak masalah. Karena mereka bukanlah orang-orang yang bisa membayar semua tagihanku yang membengkak karena cicilan atau membayar bensin mobilku jika terus bepergian dengan mereka. Aku percaya, nilai diriku bukan hanya dari apa saja yang kubeli dan kupakai, tapi pada mindset serta kepribadianku. Pada akhirnya sebagian dari mereka akan menghilang di masa depanku, yang tersisa hanya beberapa teman terbaik saja. (*)

 

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu