UrbanWomen – Aku Kiki, 28 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Trauma masa kecil yang aku alami disebabkan oleh orang tuaku sendiri. Dulu, ketika masih kecil ayahku sering kali menghukumku dengan memukul dan membentak. Kedua orangtuaku mendidik aku begitu keras. Sebagai anak perempuan, aku dituntut untuk selalu bangun pagi hari untuk membereskan rumah. Sekali saja aku bangun tidur sedikit lebih siang, ayah langsung memukulku, bahkan pernah menyeret dan menyiramku di kamar mandi. Karena menghukumku dengan cara ini, justru aku merasa sangat ketakutan dengan orangtuaku. Menjadi anak yang tertutup, dan aku merasa hanya sedikit sekali memiliki momen menyenangkan bersama mereka. Ini membuatku selalu memaksakan diri supaya bisa bangun di pagi hari, walaupun terkadang aku masih merasa lelah.
Dampaknya ketika dewasa, aku tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri, memiliki emosi yang tidak stabil, dan sering muncul rasa khawatir berlebihan. Apalagi aku pernah bekerja di bidang jasa di mana setiap waktu aku dituntut untuk bertemu dengan banyak orang. Sesekali ada rasa khawatir apakah aku sudah bicara dengan baik atau belum. Begitu juga dalam hal pertemanan, terkadang aku merasa sangat marah dengan mereka yang beberapa kali merendahkanku, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya secara langsung, memilih memendam. Namun, di kemudian hari emosi yang aku kubur dalam-dalam bisa meledak begitu saja. Akhirnya muncullah rasa penyesalan yang berujung menyalahkan diri sendiri.
Begitupun ketika aku sudah berumah tangga, sering merasa aku memiliki emosi yang tidak stabil. Setiap kali marah, aku selalu membentak suami terkadang memecahkan barang di rumah. Aku sempat merasa takut dia meninggalkanku karena ini. Tapi aku beruntung, karena suamiku justru menyarankan aku untuk memeriksakan diri ke psikolog. Awalnya aku sempat tidak terima dan berpikir “apakah suamiku sudah menganggap aku ini tidak waras, sampai menyarankan aku ke psikolog.” Namun, suamiku tidak lelah untuk terus menasehatiku supaya tetap pergi ke psikolog. Karena dia juga khawatir, ini akan berpengaruh ketika aku mulai menerapkan pola asuh anak kami nanti. Sampai aku menyadari bahwa memang luka masa kecilku harus segera diproses, karena jika tidak, apa yang aku rasakan ketika kecil akan terjadi kembali pada anakku.
Didampingi suami, aku pergi ke psikolog. Di awal aku sempat merasa khawatir akan dihakimi ketika bercerita. Tapi ternyata tidak demikian. Ketika itu, aku disarankan untuk melakukan beberapa cara sederhana terlebih dahulu untuk meredakan dan menyikapi luka masa kecil. Untuk memulainya, aku perlu memahami dan terima bahwa ada bagian diriku yang memang terluka. Kemudian, tuliskan surat untuk bagian diri yang terluka, dan curahkan semua hal yang ada di dalam pikiranku. Aku disarankan untuk menyampaikan pada diri sendiri bahwa aku mencintainya, mendengarkan dan meminta maaf untuk semua hal sulit yang harus dilewati.
Aku juga disarankan untuk melakukan meditasi di rumah untuk mengakui perasaan apapun yang muncul dalam hidup ini. Ketika aku sudah bisa menerima emosi yang datang, aku akan lebih mudah mengekspresikannya dengan cara yang sehat. Ini akan memberikan sinyal pada inner child bahwa tidak masalah untuk memiliki emosi dan membiarkannya keluar. Biasanya, aku melakukannya tiap 5 menit setiap hari setelah bangun tidur. Cara berikutnya adalah dengan menghadirkan kembali kebahagiaan masa kecil. Biasanya, aku tetap meluangkan waktu secara teratur untuk kesenangan dari hal sederhana dalam hidup. Misalnya, hanya sekedar n menikmati es krim sambil jalan-jalan, atau bermain sepeda di taman.
Baca Juga: Double Standard dalam Hubungan Cinta, Penghalang Hubungan Setara
Memang, hal-hal tersebut sangat sederhana namun memberi dampak yang sangat positif untuk diriku. Aku menjadi lebih bisa mengontrol emosi. Tiap kali sedang marah, aku menuliskannya langsung di jurnal. Hal ini sangat membantuku dalam menumbuhkan kesadaran yang baru dan terus mendengarkan apa yang diriku butuhkan. Aku juga menjadi lebih percaya diri dan rasa takut dalam diri sedikit demi sedikit berkurang. Tak cukup sampai sini, aku juga berencana agar lebih sering berkonsultasi atau terapi jika diperlukan sampai aku benar-benar merasa jauh lebih baik.
Proses menerima dan berdamai dengan luka masa kecil memang memakan waktu yang sangat lama dan cukup berat. Namun, masa lalu tidak harus mendikte kehidupanmu di masa sekarang. Kamu tetap bisa bertumbuh dan mengembangkan diri. Berdamai dengan luka masa kecil, akan membantu kita memiliki kehidupan yang lebih bahagia dan tentang.
Sumber: Kiki, 28 tahun, nama disamarkan, di Jakarta