Kesalahanku Amat Besar, Namun Aku Ingin Bangkit dari Keterpurukan dan Memperbaiki Kesalahanku

Belajar dari Kesalahan Besar

Kisah Utama

Urbanwomen – Namaku Nina, tahun ini berusia 28 tahun dan bekerja sebagai tenaga kesehatan di Jakarta. Aku tidak pernah menyangka bahwa pada perayaan Idul Fitri tahun 2017 aku hadir di hadapan keluarga besar dengan penuh rasa cemas. Aku takut sekali. Perutku sudah membesar. Sudah semakin sulit ditutupi. Semua orang mengira aku gendutan. Nyatanya, berat badanku memang bertambah karena ada calon anakku dari pacarku. Calon anak yang sudah kami beri hidup namun akan kami bunuh.

Aku tidak bisa membiarkannya lahir. Pacarku pun begitu. Aku dan dia sama-sama berada di akhir-akhir masa kuliah. Tidak lama lagi kami akan menjadi kebanggaan orangtua kami, memeluk gelar yang dianggap sangat berharga oleh hampir semua orang. Aku dan dia sama-sama menjadi harapan besar orangtua. Aku anak sulung, dia anak bungsu. Aku memeluk agama A, dia memeluk B. Yah, walaupun dipaksa untuk dilahirkan, kami juga tidak bisa dinikahkan. Orangtua kami tidak pernah menyetujui hubungan ini. Bagaimana nasib anakku nanti? Siapa yang akan menjadi ayahnya? Siapa yang akan menafkahinya? Akankah dia diakui oleh para kakek-? Aku tidak bisa membayangkan anakku hidup dengan segala ketidakjelasan, karena diam-diam aku menyayanginya.

Sampai saat ini pun aku masih ingat detail kejadian di hari aku melakukan aborsi. Aku memandang diriku hina. Teganya membunuh anak sendiri. Aku begitu takut tidak akan pernah lagi dikaruniai anak. Dan ketika pekerjaanku mengharuskan aku bertemu dengan banyak bayi dan anak kecil, tidak jarang aku meneteskan air mata kala melihat mereka. Aku dihantui rasa bersalah, entah sampai kapan.

Tapi apa gunanya aku terus melihat ke belakang dan menyalahkan diri sendiri? Aku tahu aku telah melakukan sesuatu yang tak termaafkan, namun kurasa aku harus berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diriku perlahan sebagaimana aku yakin Sang Pencipta begitu pemaaf. Aku harus bangkit demi masa depanku yang masih panjang. Aku tidak boleh terus-terusan mengurung diri dalam rasa bersalah yang meredupkan semangatku. 

Aku berusaha memperbaiki diri. Namun aku juga tidak munafik, bahwa melepas kebiasaan berhubungan seksual dengan pacarku tidaklah mudah. Apalagi, hal itu sama-sama merupakan yang pertama bagi kami. Bodoh sekali memang, mengingat pertama kali kami melakukan hal itu. Bisa-bisanya mencoba-coba. Akhirnya ketagihan juga. Aku jadi ingat peringatan dari beberapa temanku dulu, bahwa jangan sekali-kali mencoba berhubungan seksual sebelum menikah. Aborsi, iya. Ingin lepas, susah juga.

Lalu apa yang bisa kulakukan? Ya, aku jadi berhati-hati ketika berhubungan. Aku “patuh” terhadap “kalender”. Aku mengunduh aplikasi kalender masa subur di ponselku. Aku tidak pernah luput untuk mencari tahu masa suburku sebelum aku berhubungan. Aku ingat betul, kala itu aku sama sekali buta soal ini. Jangankan punya aplikasinya, aku tidak pernah menghitung masa suburku. Tanpa persiapan apa-apa aku berani berhubungan seksual dengan pacarku.

Aku sangat menjaga agar aku tidak lagi hamil di luar nikah. Aku dan pacarku sama-sama fokus untuk menyelesaikan kuliah. Kami sama-sama belajar giat untuk menghadapi ujian. Setiap hari kami belajar hingga menjelang pagi. Sesekali aku masih teringat kejadian itu. Aku takut sekali. Akankah Tuhan membalas kesalahanku di masa lampau dengan membiarkan aku tidak lulus? Sungguh, pikiranku dipenuhi banyak skenario karma.

Tapi memang benar, Tuhan pemaaf. Dia tahu aku dan pacarku sama-sama bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama, walaupun kami masih sulit untuk benar-benar melepas kebiasaan berhubungan seksual. Dia tahu aku dan pacarku sama-sama bertekad untuk tidak membiarkan masa depan kami gelap gulita. Dia tahu aku dan pacarku sama-sama melihat kesalahan yang lalu sebagai pelajaran hidup yang besar.

Baca Juga: Pelecehan Seksual yang Pernah Kualami di Masa Kecil

Dia menghadiahi kami kelulusan. Dia membiarkanku mendapat nilai tertinggi kedua di kampusku. Dia bahkan membiarkan orangtua kami mengucapkan selamat kepada pacar anaknya dengan senyuman. Mantan pacar, lebih tepatnya. Ya, kami berpisah setelah sama-sama menumpahkan banyak air mata akibat kesalahan besar kami sendiri. Namun, kami berpisah dengan saling melemparkan senyum. Bahagia bahwa setelah melakukan satu kesalahan besar kami tetap dapat melihat secercah cahaya di masa depan dan membuat orangtua kami bahagia selama kami sama-sama bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Selama kami sama-sama berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri. (*)

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu