Belajar Menentukan Sendiri Jalan Hidupmu

Belajar Menentukan Sendiri Jalan Hidupmu

Keluarga

Urbanwomen – Kisah ini adalah sekilas pengalaman bagaimana saya bisa menerima diri hingga dapat bersyukur dan berdamai dengan situasi dan kondisi. Penekanannya pada cara mengatasi dengan “berdamai”, bukan “trauma” karena pengalaman saya ini lebih merupakan gangguan kecemasan dan depresi. Keterkaitan dekat, trauma bisa menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan.

Salah satu alasan saya kuliah psikologi adalah keinginan untuk mengenali diri saya sendiri, sekalian “rawat jalan”, menyembuhkan diri sendiri. Maksudnya menyembuhkan cara pandang saya terhadap diri sendiri karena self-esteem saya amat rendah. Saya sering diberi nasihat untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, tapi sangat sulit. Intinya, saya mau minta tolong pun tidak bisa ke mana-mana. Saya berperang dengan diri sendiri, mengalami konflik batin, dan akhirnya yang bisa menyelamatkan saya hanyalah diri sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa mendekatkan dengan Sang Pencipta atau bantuan orang sekitar tidak penting, tapi semua percuma jika tidak ada perjuangan dalam diri. Dan itu yang terberat.

Jadi, please stop bilang orang yang depresi itu kurang beriman. Mereka sedang berperang melawan diri sendiri.

Seharusnya cara mengatasi trauma adalah dengan mengetahui akar permasalahannya. Itu lebih  mudah  dibanding “buta total”,  tidak tahu penyebabnya seperti saya.

Akar permasalahan saya kurang-lebih adalah lingkungan. Dari kecil saya sudah banyak mengalami tekanan dari keluarga dan teman. Ketika saya masih bayi ayah saya sempat down karena ibu saya jatuh koma selama 3 bulan. Ibu saya terjatuh, mengalami pendarahan di kepala, terganggu di bagian memori dan menderita amnesia. Ibu saya dianggap oleh dokter nyaris tidak selamat dari kematian. Semenjak itu ibu saya diangkat rahimnya dan harus belajar baca-tulis dari awal lagi. Nama anaknya sendiri pun lupa. Sampai sekarang ibu saya masih sulit berkomunikasi. Kalimatnya sering terbalik-balik dan tidak dapat dipahami.

Insiden itu juga membuat ibu saya berubah menjadi keras, karena sikap ayah saya dan masalah lainnya. Ayah saya yang belum bisa menerima keadaan sepenuhnya sampai menutup diri dan menjadi pribadi yang kaku. Setiap hari hanya sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga saya utuh, tapi terasa “broken home”. Terkadang pertengkaran orangtua saya malah membuat saya terlibat, menjadi pelampiasan ibu saya yang sakit hati oleh tuntutan suaminya. Saya dituntut agar berprestasi. Saya jadi jarang bersosialisasi, sibuk macam-macam kursus sepulang sekolah. Balet, piano, renang, misalnya. Belum lagi lomba-lomba yang terkadang ibu saya daftarkan. Setiap kali saya tidak mencapai standar tertentu saya bertengkar dengan ibu saya, diperlakukan kasar.  Saya tumbuh sebagai pribadi yang harus selalu “didorong” oleh orang lain, bukan oleh diri saya sendiri. Saya sulit membuat keputusan sendiri. 

Menurut saya, salah satu cara untuk menentukan akar permasalahan adalah dengan menyadari kekurangan dan kelebihan saya, serta mengingat kembali kira-kira kejadian apa yang masih menghantui saya. Karena tidak mendapat penerimaan dari keluarga saya berusaha semaksimal mungkin hidup dalam ekspektasi orang dan selalu bermain aman. Dalam pikiran saya waktu itu: Pasti Papa-Mama nggak sayang kalau aku nggak berprestasi, pasti teman-teman nggak mau berteman kalau aku nggak baik, nggak ngasih contekan, nggak ngasih kado mahal, nggak ngasih apa yang mereka mau.

Awalnya saya mengira dengan memaafkan orang-orang yang menyakiti saya sudah cukup. Ternyata tidak. Saya banyak mengeluh dan kurang bersyukur waktu itu. Saya sering membodohi diri sendiri dengan pemikiran bahwa alasan saya tidak mencapai apa yang saya inginkan adalah orang-orang sekitar saya. Padahal alasan-alasan itu tidak sepenuhnya benar. Kesalahan saya adalah membandingkan diri dengan hidup orang lain yang tentunya membuat kurangnya rasa syukur.

Cara saya mengikhlaskan pengalaman masa lalu adalah berhenti membuat alasan dan hidup berorientasi ke depan. Lama-kelamaan saya memutuskan untuk sering berdiskusi membicarakan apa yang saya inginkan. Terlebih saya tidak bisa seperti ini terus karena saya semakin dewasa. Saya meminta kepada kedua orangtua saya untuk menjalani kehidupan yang saya mau sesuai keinginan dan impian saya. Saya sadar tidak bisa mengikuti kemauan orang lain seperti teman-teman saya. Saya akan tersiksa jika begitu terus. Perlahan-lahan saya sampaikan keinginan itu pada kedua orangtua saya. Meski awalnya kami sempat beragumen, karena karakter mereka yang keras, tapi saya tetap berusaha meyakinkan. 

Ya, saya selalu berusaha membuktikan bisa tetap berprestasi tanpa paksaan. Sampai saya berhasil masuk ke jurusan psikologi di salah satu universitas yang cukup bagus di Indonesia. Perlahan mereka percaya. Sampai saat ini saya membiasakan untuk bicara, berdiskusi dengan mereka. Orangtua saya memang masih bertengkar, tapi tidak separah dulu. Dan sudah tidak kasar lagi terhadap saya. 

Saya selalu ingat jika setiap orang sudah diatur porsinya dan mungkin kita cukup beruntung dapat mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan sebagai proses pendewasaaan. Jangan menyalahkan diri sendiri atas semua yang telah terjadi. Itu bukan kesalahanmu melainkan berkatmu. Di luar sana banyak yang menanti ceritamu sebagai kekuatan bagi mereka untuk tidak menyerah pada kehidupan. (*)

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu