Aku anak satu-satunya dari keluarga yang sangat sederhana. Kedua orangtua berjualan sate untuk memenuhi kebutuhan dan biaya sekolah. Dari kecil aku selalu menuruti kemauan mereka. Ketika masih sekolah SMA, tak seperti orang lain yang bisa fokus belajar, pulang sekolah aku membantu orangtuaku berjualan. Tak jarang baju yang kukenakan untuk sekolah masih lecek karena aku tidak punya banyak waktu untuk merapikan baju yang akan dikenakan hari esok. Tidak seperti orang lain yang bisa main setelah pulang sekolah aku langsung membantu orangtuaku berdagang. Rasa lelah pasti, bahkan jarang sekali aku memperhatikan diri sendiri. Saking lelahnya, pernah aku tidur di kelas saat pelajaran berlangsung. Beruntung guruku sangat baik, tahu aku sangat lelah dari berjualan sate sampai jam tiga pagi. Aku selalu menuruti apa yang orangtuaku inginkan, tak masalah jika aku membantu walaupun karena itu juga aku jadi kurang maksimal belajar.
Tapi pernah aku agak kesal pada ibuku mamaku yang membandingkanku dengan temanku yang masuk peringkat 5 besar di sekolah. Aku sampai mengira ibuku tidak menghargai perjuanganku selama ini membantunya. Ibuku ingin aku seperti anak lainnya, pintar dan berprestasi di sekolah tapi tetap ingin aku membantunya berdagang. Demikian pula ayahku, yang bahkan pernah menyuruhku berhenti sekolah saja.
Ketika itu aku merasa tidak ada orang yang menghargaiku dan usahaku selama ini. Hanya aku seorang yang mampu membahagiakan diri sendiri. Aku memutuskan untuk tetap sekolah sampai lulus SMA. Uang dari dagangan orangtuaku beberapa kali kusimpan sebagian untuk biaya sekolah tanpa sepengetahuan mereka. Saat itu tidak ada cara lain untuk mendapatkan biaya sekolah sementara aku juga belum bekerja. Sampai akhirnya aku berhasil lulus dan wisuda. Ketika itu orangtuaku tetap datang ke acara wisudaku. Aku sangat senang ketika itu.
Setelah lulus aku masih membantu usaha kedua orangtuaku Belum ada biaya untuk melanjutkan pendidkan ke perguruan tinggi. Beberapa lama setelah lulus aaku diniikahkan oleh orangtuaku dengan seseorang pilihan mereka. Lagi-lagi aku menuruti. Kupikir, “Cuma aku anak satu-satunya yang bisa membuat mereka bahagia. Ya, dengan mengikuti kemauan mereka”.
Awalnya pernikahanku tak ada masalah. Anakku lahir. Naum lama kelamaan sikap suamiku berubah dingin. Beberapa kali dia sering marah dan mendiamkan diriku tanpa alasan. Sampai saatnya kurasa aku tak bisa mempertahankan rumah tanggaku karena onflik terus terjadi.
Aku sadar dulu aku tak pernah memikirkan diri sendiri, tidak menghargai diri sendiri. Aku selalu saja mementingkan orang lain dulu sebelum memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Lelah sekali rasanya. Tapi aku sudah melangkah sejauh ini, aku harus tetap melanjutkan hidupku. Aku mulai sadar, hanya aku yang bisa menghargai dan mencintai diriku sendirii. Aku mau apa yang kujalani selanjutnyq hanya berdasarkan keputusanku sendiri.
Itulah cara menghargai diriku sendiri sekarang. Perjalanan panjang ini kujadikan pelajaran. Aku harus bisa bertanya pada diri sendiri apakah suatu keputusan yang kuambil membuatku bahagia atau sebaliknya. Lakukan apa yang kita mau, atas dasar keputusan diri sendiri. Selama itu hal positif, kenapa tidak. (*)