Urbanwomen – Kita tak pernah tahu ke mana kehidupan akan membawa kita. Ada banyak hal yang terjadi tanpa direncanakan atau bahkan sekadar dibayangkan sebelumnya. Dan oleh karena itu aku selalu berusaha menjalani hidupku dengan semangat, menantikan misteri kehidupan yang terkuak satu per satu setiap waktu.
Aku tidak pernah membayangkan bakal tinggal di Belanda, tidak pernah membayangkan bisa berkarir sebagai peneliti di negara itu, tidak pernah membayangkan bisa bertemu banyak teman baik di sini. Sebab bila menoleh ke belakang aku hanyalah anak perempuan dari keluarga sederhana keturunan Jawa – Betawi. Aku merasa tidak punya banyak privilege, semua harus kudapatkan melalui kerja keras dan usaha ekstra. Ayahku Jawa, menumbuhkan keuletan, kelembutan, serta kesederhanaan. Ibuku si perempuan Betawi menurunkan keberanian, sikap apa adanya, sekaligus kecerdasan natural meski tidak mengenyam pendidikan tinggi. Kurasa hanya itu modalku untuk mengarungi hidup.
Aku sekolah negeri sampai SMA agar tidak memakan banyak biaya. Dan mungkin karena itu pula ayahku sanggup membiayai kuliahku di universitas negeri ternama di Depok jurusan Sejarah. Aku merampungkan pendidikan tepat waktu dengan predikat cumlaude. Tapi semangat belajarku tidak hanya sampai di situ. Aku ingin melanjutkan studi S2 di Belanda melalui jalur beasiswa. Aku senang sekali karena berhasil mendapatkannya. Awalnya orangtuaku sangat berat melepasku bertolak ke Belanda, tapi akhirnya mengizinkan dan berpesan “Jangan sampai kamu pacaran sama orang sana, ya.”
Aku tentu saja tak mengindahkan pesan itu. Bukan karena tak menghargainya, tapi aku memang tidak memikirkan itu sama sekali. Aku pergi untuk belajar. Selain itu, bagiku kita tak pernah tahu siapa yang akan kita temui dalam hidup ini, teman atau jodoh. Aku hanya ingin belajar sebaik mungkin agar bisa memiliki kehidupan yang baik di segala aspek.
Namun sepertinya hatiku telah terpaut di Belanda. Setelah menyelesaikan S2 aku justru mendapat tawaran bekerja sebagai peneliti akademis yang membantu mengembangkan kurikulum di universitas tempatku berkuliah. Lagi-lagi orangtuaku sulit menerimanya tapi kembali aku bisa meyakinkan mereka. Pada tahun pertama sebagai peneliti aku mulai dekat dengan salah satu pengajar yang juga sempat menjadi pembimbingku sewaktu kuliah. Kami terpaut usia 7 tahun. Kami banyak berdiskusi, tentang pekerjaan maupun isu-isu lain. Masuk tahun ketiga dia mengajakku untuk menikah. Tentu saja itu menjadi sulit mengingat orangtuaku lebih menyukai laki-laki Indonesia. Aku pun harus berjuang keras meyakinkan orangtuaku, demikian pula pacarku.
Baca Juga: Mana yang akan Kamu Pilih? Impianmu atau Impian orang tua
Tapi menikah adalah keputusan besar sekaligus pribadi. Aku berusaha menjelaskan pada orangtuaku bahwa kenyataannya menikahi seseorang tidak bisa hanya diputuskan atas pertimbangan ras saja, melainkan sejauh mana hubungan itu punya pondasi kuat untuk mengarungi samudera kehidupan selanjutnya. Aku bahkan sama sekali tidak dengan sengaja memilih suamiku dengan alasan bahwa dia “bule”. Dan lagi-lagi, orangtuaku pun akhirnya menerima keputusanku. (*)