Urbanwomen – Dalam perjalanan panjang hidup ini aku mengalami banyak sekali peristiwa yang membahagiakan sekaligus menyakitkan. Bagiku itu semua adalah batu-batu pijakan yang harus kulalui dengan cermat. Itulah sebabnya aku selalu berusaha keras untuk tidak sering menoleh ke masa lalu jika hanya sekadar untuk meratap. Setiap kali merasakan sakit aku memaksa diri untuk melangkah maju tanpa menunggu luka batin mengering. Aku ingin menjadi kuat. Aku yakin waktu bisa melupakan dan menyembuhkan semua.
Caraku menyembuhkan diri dari waktu ke waktu adalah dengan menemukan hal-hal baru yang membuatku bahagia, atau setidaknya mampu mengalihkan kesedihan. Aku juga cenderung menghindar dari hal-hal yang membuat hatiku sakit. Aku pernah membaca sebuah kutipan bahwa sedih atau bahagia hanyalah soal mindset. Segala perasaan ada karena kita membiarkannya ada. Ya, itulah yang menjadi pandangan hidupku sejak aku belia.
Menginjak usia yang cukup dewasa yakni 26 tahun aku menikah dengan laki-laki yang sangat baik hati dan dewasa. Baginya aku adalah sosok yang kuat menghadapi berbagai permasalahan hidup. Sedangkan bagiku dia adalah laki-laki yang sangat suportif. Kehidupan pernikahan kami berjalan dengan baik. Sampai pada akhirnya aku hamil, dan aku memutuskan untuk mundur dari pekerjaanku. Tapi pernikahan kami justru cenderung memanas sejak aku melahirkan dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Aku memang merasakan gejolak emosional dalam diriku. Awalnya aku mengira karena aku merasa bosan. Masa transisi dari rutinitas padat, dinamis, serta menggairahkan bagiku menjadi masa-masa yang monoton meski aku merasa bahagia memiliki anak. Aku dan suami menjadi sering bertengkar karena aku meributkan banyak hal kecil yang seharusnya bisa dibicarakan dengan baik. Entah mengapa aku merasa kacau, merasa kehilangan diri sendiri. Tapi lagi-lagi, aku berpikir segala kesedihan itu harus dilawan. Semua perasaan yang tak baik itu bisa dibunuh.
Satu tahun berlalu, suamiku berusaha terus mendukung dan menghiburku. Dia kerap kali menanyakan keresahanku, tapi aku tak bisa menjawabnya. Kembali bekerja juga bukan cara yang tepat untuk mengembalikan kebahagiaanku. Lalu dia mengarahkanku untuk mendatangi psikolog kenalannya.
Setelah bertemu dengan psikolog barulah masalahnya perlahan terurai. Dari banyak sekali pertanyaan yang diajukan padaku salah satunya adalah mengapa aku memutuskan keluar dari pekerjaan sewaktu hamil. Aku jelaskan bahwa aku merasa “wajib” menjadi orangtua yang baik, yang memberi banyak waktu buat anaknya agar tidak merasakan kesepian seperti masa kecilku dulu. Aku mewajibkan diri sendiri untuk berada di rumah, namun tidak dengan ketulusan hati. Menjadi orangtua yang baik seolah menjadi tuntutan bagi diriku sendiri, agar aku tidak sama seperti orangtuaku dulu.
Ya, sejak aku kecil orangtuaku lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, aku merasakan kesepian yang amat sangat. Kesepian itu rasanya juga seolah disulut oleh api kemarahan ketika orangtuaku lantas malah bercerai. “Aku sudah cukup sakit merasakan kesepian selama ini, sekarang semua malah benar-benar dihancurkan,” pikirku saat itu.
Aku terus berjalan dengan lukaku. Aku tumbuh dewasa tanpa meratapi semuanya. Tapi yang aku lupa, aku tidak menyembuhkan lukaku. Aku hanya berusaha keras melupakannya, menutupinya, mengabaikannya, berharap luka itu akan pulih sendiri. Itu ternyata menjadi luka dalam yang sebenarnya belum sembuh. Sejak menyadarinya aku lantas berusaha menerima semua kepahitan masa lalu. Menerima semua kesakitan itu. Mengakui kepedihan itu pada diriku sendiri. Menikmati tetes-tetes air mata yang tumpah karenanya. Dan perlahan kesedihan itu seolah mulai habis.
Hari-hari yang benderang seolah menyambut diriku yang baru. Aku berangsur-angsur stabil dan nyaman menjalani peranku sebagai ibu. Aku kini telah menerima masa lalu untuk masa depanku: keluarga. Aku sadar betul bahwa aku tak akan bisa menjadi orangtua yang baik bila aku sendiri belum “baik”. Menjadi orangtua yang baik bukanlah tuntutan, namun seharusnya menjadi keinginan luhur dari dalam hatiku sendiri. (*)