UrbanWomen – Aku Lisda, 25 tahun, freelancer, di Jawa. Kini aku sedang berpacaran dengan seorang pria yang sudah aku kenal sejak lama. Kami sudah berpacaran selama 3 tahun. Di awal pacaran, banyak sekali perbedaan karakter antara aku dengannya yang bisa memicu konflik. Memang benar, untuk menyatukan dua karakter yang berbeda dalam hubungan itu memang tidak mudah. Sering kali aku merasa kesal sendiri karena sikap pasangan yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Dia sangat berbeda denganku. Aku seseorang yang bisa bicara terus terang jika ada yang tidak aku sukai darinya. Sedangkan dia tidak demikian. Dia seseorang yang sangat berhati-hati dalam bicara, sering khawatir dengan apa yang dia bicarakan bisa menyakiti orang lain. Dari karakter kami, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Pacarku cenderung lebih sering memendam perasaan dan suatu saat bisa meledak, sedangkan aku akan tegas mengatakan apa yang aku inginkan. Sikapku yang frontal kadang membuat pasanganku lebih mudah tersinggung.
Kami pernah bertengkar karena dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga jarang memiliki waktu untukku. Aku bicara frontal padanya dan mengatakan bahwa aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Tanpa bicara, dia cenderung menghindari perdebatan, memilih mendiamkanku selama berhari-hari. Bukannya menyelesaikan masalah, justru kami semakin bertengkar.
Dia seseorang yang lebih suka menyendiri dan tertutup, sedangkan aku suka sekali bersosialisasi dan banyak bicara. Ini juga menjadi salah satu pemicu konflik kami. Aku merasa dia tidak mengerti diriku, begitupun sebaliknya. Bahkan, kami pernah berdebat dulu karena dia yang selalu khawatir merepotkan orang, dia akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri sampai batas akhir. Sedangkan, menurutku tidak masalah jika sesekali meminta bantuan orang lain supaya tidak merasa kerepotan sendiri.
Terlalu banyak perbedaan, membuat hubungan kami semakin renggang bahkan berpikir untuk berpisah saja. Tapi, perbedaan dalam hubungan ini seharusnya bisa kami atasi karena setiap orang pasti punya karakter yang berbeda-beda. Hingga suatu hari, aku mengajaknya untuk berdiskusi tentang hubungan ini supaya bisa mengenal satu sama lain. Dia sempat bercerita bahwa dia yang seperti ini ada kaitannya dengan bagaimana dia dibesarkan oleh kedua orangtuanya. Sering disalahkan ketika melakukan kesalahan saat kecil, membuat dia menjadi orang yang tertutup, dan selalu berusaha menyelesaikan masalah sendiri.
Dari obrolan ini, aku semakin tahu kenapa dia seperti itu. Begitupun sebaliknya, aku juga bercerita tentang diriku. Kami juga mengungkapkan apa yang selama ini menjadi pemicu konflik dalam hubungan. Sadar, bahwa aku dan dia perlu meredam ego masing-masing dan berusaha saling menerima. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa menerima dia yang seperti itu. Karena aku sadar bahwa tidak mudah untuk seseorang berubah demi kita. Pilihannya hanya dua. Aku mau menerima dia yang seperti itu, atau aku pergi dan mencari orang lain yang sesuai dengan apa yang aku mau. Kami coba untuk memperbaiki hubungan ini. Belajar untuk bisa saling memahami, bisa menegur tanpa menyalahkan satu sama lain. Tentu, ini tidak lepas dari dukungan orang sekitar yang terus memberi masukan tentang menerima perbedaan dan menciptakan hubungan yang sehat.
Baca Juga: Berusaha Kompak Mengasuh Anak Bareng Suami Meskipun Tantangannya Tak Mudah
Sampai saat ini kami masih perlu belajar banyak untuk saling memahami. Namun, hubungan kami kini jauh lebih baik karena mau bertumbuh bersama. Sering kali kita sempatkan waktu untuk bicara serius satu sama lain, saling evaluasi diri. Bahkan kami sudah bicara tentang pernikahan. Karena saling merasa hubungan kami semakin baik, meskipun begitu banyak perbedaan.
Ciptakan ruang kompromi untuk bisa meredam ego masing-masing. Tak hanya komunikasi, saling memahami juga menjadi kunci hubungan langgeng. Belajar untuk saling memahami dan mendengar satu sama lain agar perbedaan yang ada bisa segera teratasi ya!
Sumber: Lisda, 25 tahun, nama disamarkan, di Jawa