UrbanWomen – Aku Mela, 35 tahun, ibu rumah tangga, di Jakarta. Aku sudah menikah dengan suami kurang lebih selama 5 tahun. Kami dikaruniai satu anak perempuan yang masih bersekolah. Suamiku sosok laki-laki tegas. Dia tumbuh dari keluarga yang disiplin. Ini yang membuat suamiku juga memperlakukan hal yang sama kepada anaknya. Berbeda denganku, yang sejak kecil orang tuaku tidak pernah mendidikku dengan keras. Mereka selalu bertanya apa yang aku inginkan dan mendukungku.
Ketika kami menikah dan memiliki satu anak, dia menjadi ayah yang begitu tegas. Semua aturan yang telah dibuat olehnya, harus dipatuhi. Menurutnya, mendidik anak perempuan tidak mudah. Jika salah pergaulan saja, bisa membuat malu keluarga. Suamiku ingin anak perempuan kami menjadi orang yang disiplin. Seperti, pulang dari sekolah, suamiku tidak memperbolehkan untuk main dengan teman-temannya tapi langsung pulang ke rumah. Menurutnya, daripada bermain lebih baik dilanjutkan dengan mengikuti les. Dampaknya, anakku menjadi lebih tertutup dan takut bicara pada orang tuanya.
Aku pernah membebaskan anakku untuk bermain setelah pulang sekolah. Menurutku, sesekali tidak masalah agar dia tidak stres karena belajar terus-menerus. Tapi, hal ini justru menjadi salah satu pemicu pertengkaran dengan suami. Pola asuh yang kami ajarkan pada anak berbeda. Dia sangat keras, sedangkan aku lebih membebaskan. Memang, sebelumnya aku terlewat membicarakan tentang parenting sebelum menikah. Seharusnya, ini perlu dibicarakan agar kami memiliki gambaran pola asuh seperti apa yang kami terapkan jika memiliki anak.
Karena suamiku mendidik anak dengan tegas, membuat hubungan kami dengan anak menjadi berjarak. Dia lebih suka bercerita pada temannya dan merasa takut bercerita pada kami. Karena melihat perubahannya yang seperti itu, aku sangat khawatir jika dia tumbuh menjadi orang yang tidak percaya diri.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk berdiskusi dengan suami tentang ini. Aku mencoba bicara padanya, kalau sebagai orangtua kita harus kompak mendidik anak. Tidak bisa berbeda pendapat, khawatir anak menjadi bingung ikut aturan yang mana. Belum lagi anakku yang sering melihat orangtuanya bertengkar karena adanya perbedaan pola asuh. Jika terus dibiarkan, masalah ini bisa berdampak serius sampai pada hubungan pernikahan.
Akhirnya kami mencoba berdiskusi, adakah persamaan dan apa saja perbedaan kami dalam mengasuh anak. Sampai kami menemukan pola asuh yang berbeda, lalu kami buat pola asuh yang merupakan hasil kompromi antara aku dengan suami. Aku juga bercerita padanya tentang bagaimana aku dibesarkan oleh kedua orangtuaku. Aku sempat bilang kalau dulu ketika kecil, aku diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang aku suka oleh kedua orangtuaku. Ini membuat aku merasa lebih dihargai dan didengarkan.
Suamiku menerima masukan ini, tapi di sisi lain, dia juga ingin anak menjadi orang yang disiplin. Maka kami membuat kesepakatan untuk membagi waktu antara bermain dengan fokus belajar. Di sinilah kami mulai menemukan titik tengahnya. Perbedaan pola asuh antara kami berdua mulai bisa dilebur agar anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sebagai orangtua, perlu menyamakan terlebih dahulu seperti apa pola asuh yang akan diambil. Dengan begitu, anak tidak akan kebingungan dan bisa bertumbuh dengan baik. Karena ketidaksepakatan orang tua dalam pola asuh bisa membuat anak merasa bingung dan menjadi pribadi yang insecure.
Baca Juga: Perbedaan usia dalam hubungan penting gak sih?
Perbedaan hubungan dalam mengasuh anak, bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang insecure. Maka dari itu, carilah kesepakatan dan sebagai orangtua harus kompak. Jangan sampai, karena perbedaan ini rumah tangga dan hubungan dengan anak menjadi berantakan.
Perbedaan pola asuh dalam hubungan bisa sering terjadi. Tapi, itu semua bisa didiskusikan agar kompak mengasuh anak. Perbedaan harapan dan konsep disiplin dari pola asuh yang berbeda bisa membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan tertutup. Maka dari itu, kamu perlu menyamakan terlebih dahulu pandangan antara kamu dan pasangan.
Sumber: Mela, 35 tahun, nama disamarkan, di Jakarta