Urbanwomen – Umur saya 23 tahun, dibesarkan di lingkungan keluarga toxic, terutama karena sikap ibu saya. Terkadang saya iri pada teman-teman yang bisa akrab dengan kedua orangtua mereka. Jika saya bercerita pada Ibu tentang sesuatu hal saya biasanya disalah-salahkan atau dibanding-bandingkan dengan kehidupannya sendiri dulu. Ibu hanya mau didengarkan, saya jadi tidak punya ruang untuk banyak bercerita padanya.
Orangtua saya terutama Ibu suka mencampuri banyak hal dalam hidup saya, mulai dari pekerjaan sampai asmara. Mereka ingin saya ikut kemauan mereka dengan alasan mereka lebih berpengalaman dan itu semua demi kebaikan saya.
Keluarga saya bisa dibilang serba berkecukupan. Ayah saya arsitek, Ibu notaris. Mereka menganggap dengan uang segala sesuatu bisa mudah dilakukan, termasuk untuk mengontrol anak-anak mereka.
Pernah sekali saya mencoba berdiskusi dengan Ibu mengenai jurusan kuliah yang saya ambil. Saya sangat ingin jadi wartawan. Tapi Ibu justru menjelek-jelekkan cita-cita saya. “Kamu itu kalau punya cita-cita yang keren dikit dong, yang menghasilkan banyak uang,” begitu katanya. Sejak saat itu saya jadi sulit untuk terbuka padanya.
Karena sifat keluarga yang demikian, saya bertekad untuk memberontak dan membalas tapi melalui hal positif. Tak sedikit teman-teman mengalami hal yang sama, ada yang sampai kabur dari rumah, bahkan yang masuk ke dalam pergaulan bebas. Saya tidak ingin seperti itu, karena itu sama saja dengan merusak diri sendiri. Saya hanya harus bekerja keras setelah lulus kuliah. Saya harus sukses tanpa campur tangan orangtua yang terlalu mengekang.
Semasa kuliah, saya ingat betul saya pernah dicap oleh Ibu sebagai perempuan gampangan karena pulang hingga larut malam hampir setiap hari. Padahal, waktu itu tugas kuliah sedang padat-padatnya sampai saya harus pulang larut malam. Tapi apakah orangtua saya menanyakan terlebih dulu alasan kenapa saya pulang larut malam? Tidak!
Tiap saya bercerita mengenai suatu hal, Ibu sering berkomentar, “Ibu tau banget kamu seperti apa, Ibu kan yang melahirkan kamu, kamu harusnya bersyukur sudah Ibu lahirkan ke dunia ini!” Waktu itu saya berpikir, bukannya hamil dan melahirkan itu adalah keputusan orangtua saya? Kenapa jadi seolah-olah saya yang minta dilahirkan? Bukannya itu sudah jadi tanggung jawab orangtua? Saya juga tidak dibesarkan dengan cara kasih sayang. Tapi komentar-komentar seperti itu seolah dijadikan senjata pamungkas Ibu agar saya tunduk padanya.
Apa yang kemudian saya lakukan?
Saat ini saya bekerja, mengumpulkan uang untuk membeli rumah sendiri. Dengan begitu, saya tidak lagi bertemu dengan kedua orangtua saya setiap hari. Saya berusaha mendapatkan penghasilan tambahan melalui online shop, blog dan bisnis lainnya yang akan saya rintis tanpa bantuan orangtua. Saya juga ingin menikah dan membangun keluarga, memutus mata rantai toxic orangtua saya.
Jadi, seandainya ada di antara pembaca yang sudah mengetahui kondisi toxic yang tidak lagi bisa diperbaiki dalam keluarga, menurut saya usahakan semaksimal mungkin untuk segera mandiri, independen secara finansial agar dapat keluar dari lingkungan yang tidak menyehatkan itu, dan tinggal jauh dari mereka.
Sumber: Anonim