UrbanWomen – Aku Vanya, 28 tahun, freelancer, di Jawa. Hubungan toxic yang pernah kualami membuatku belajar banyak hal. Hubungan di masa lalu menyadarkanku bahwa consent dalam hubungan itu penting. Dulu, aku pernah berpacaran dengan seorang pria selama 4 tahun. Hubungan kami bisa dikatakan toxic, karena dia sering memperlakukan aku semaunya. Apapun yang dia mau mesti dituruti, dia tidak memikirkan apakah aku nyaman diperlakukan seperti itu atau tidak.
Seperti ketika dia tiba-tiba saja mencium pipiku di depan umum, tanpa meminta izin dariku. Bagiku, diperlakukan seperti ini membuat aku tidak nyaman, apalagi dia tidak mengatakannya terlebih dahulu. Tiap kali aku mengatakan bahwa aku tidak suka diperlakukan seperti itu, kami malah bertengkar. Alhasil, aku menjadi takut mengatakan apa yang membuat aku nyaman dan tidak. Sedangkan dia semakin semena-mena memperlakukanku.
Tidak adanya consent atau persetujuan dalam hubungan kami, membuat kami tidak terbuka satu sama lain. Aku merasa bahwa dia tidak peduli padaku sebagai pasangannya. Aku merasa tidak aman kerap kali bersamanya. Dia juga pernah melakukan hal tak senonoh padaku. Dia tiba-tiba saja mencium bibirku ketika kami sedang pergi bersama. Aku diam dan tidak berani melawan, meski sebetulnya aku merasa sangat tidak nyaman. Namun, karena aku diam, dia mengira bahwa aku suka dan setuju diperlakukan seperti itu. Padahal, aku tidak melawat untuk menghindari pertengkaran saja.
Aku merasa dia tidak tulus dan hanya mementingkan nafsu saja. Sampai suatu ketika, aku diajak ke kosan dia. Saat itu suasananya lagi sepi sekali dan aku dipaksa olehnya untuk menginap. Di situlah dia memaksa untuk melakukan hubungan intim. Jika tidak menuruti kemauannya, dia mengancam untuk segera mengakhiri hubungan. Bodoh sekali aku. Entah apa yang aku harapkan darinya saat itu, aku merasa sudah dibutakan oleh cinta.
Sejak saat itu, aku merasa kalau tujuan dia bersamaku hanya karena nafsu saja. Tiap bertemu memintaku melakukan hubungan intim. Tidak pernah sekalipun kami membicarakan tentang masa depan bersama, mau dibawa kemana hubungan ini. Hubungan kami justru terasa membosankan. Aku merasa bahwa hubungan ini semakin tidak sehat. Walaupun aku merasa lelah, dia tetap saja memaksaku melakukan hubungan intim seperti itu. Tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
Sampai kami bertengkar hebat, karena aku menolak untuk melakukan hubungan intim. Dia memaksa tapi aku marah. Aku rasa, ini semua sudah cukup aku merasa muak dan lelah. Saat minta putus, dengan gampangnya dia mengiyakan dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja. Aku merasa sangat stress dan tidak punya harga diri lagi.
Butuh waktu sangat lama untuk move on dan berdamai dengan apa yang telah terjadi. Aku belajar untuk menerima diriku kembali, mencari kebahagiaan baru, dan banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari hubunganku itu. Namun, berkat hubungan itu, aku mulai menerapkan batasan dan persetujuan saat menjalani hubungan dengan orang baru. Apapun yang pacarku lakukan, aku pastikan bahwa itu adalah persetujuan bersama. Dia tidak akan berani mencium atau memelukku di depan umum tanpa persetujuan dariku. Aku sudah berani mengatakan dengan tegas, jika saja dia melanggar lebih baik akhiri saja hubungannya. Ini aku lakukan, agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Baca Juga: Tak Bisa Mendengar, Bukan Alasan Bagiku untuk Tidak Mengembangkan Diri
Karena di hubunganku saat ini kami menerapkan consent, hubungan menjadi lebih terbuka. Aku merasa bahwa kami saling peduli, dan nyaman. Kami saling menghargai, dan tak segan menolak jika ada sesuatu yang membuat aku atau dia tidak nyaman.
Adanya consent atau persetujuan dalam suatu hubungan itu memiliki peran yang sangat penting. Kamu berhak menolak jika pasangan memaksa melakukan apa yang dia inginkan sepihak. Jangan takut kehilangan, karena dari situ kamu bisa melihat apakah pasanganmu bisa menghargaimu atau tidak.
Sumber: Vanya, 28 tahun, nama disamarkan, di Jawa