UrbanWomen – Namaku Citra, 24 tahun, freelancer, di Jakarta. Untuk kedua kalinya aku terjebak ke dalam hubungan toxic. Saat itu aku masih muda sekali, sehingga belum bisa membedakan manakah hubungan yang sehat dan tidak. Semua bermula dari pertemuanku dengan seorang pria melalui media sosial. Aku berharap, dia adalah pria yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Obrolan kami nyambung satu sama lain, sampai ada titik di mana dia mulai menanyakan tentang masa laluku.
Sebetulnya, aku tidak nyaman membicarakan hubunganku yang sebelumnya karena ada kejadian yang membuatku cukup trauma di sana. Aku pernah melakukan hubungan seks sebelumnya. Tapi dia tetap memaksa, hingga akhirnya aku bercerita tentang masa laluku yang kelam saat itu. Aku kira, dengan dia mengetahui hal itu, dia akan berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama. Tapi ternyata tidak, justru dia melakukan hal yang sama dengan mantanku sebelumnya.
Dia mulai sering membentak dan lebih parahnya dia memaksaku untuk melakukan hubungan intim. Aku takut berterus terang tentang ini kepada orangtuaku. Terpaksa, aku melakukannya kembali karena dia mengancam putus dan marah jika aku tidak menurutinya. Sementara saat itu aku sudah dibutakan oleh cinta. Selalu menuruti apa yang dia mau. Usai melakukannya berkali-kali, dia menjadi sering merendahkan. Aku disebut sebagai wanita gampangan dan bodoh. Tapi tetap saja aku memaafkannya. Aku takut meminta putus, karena merasa tidak ada laki-laki yang bisa menerima diriku yang sudah tidak berharga ini. Siapa yang mau menerima diriku selain dia.
Aku merasa, jika aku bertahan hanya takut tidak ada yang menerimaku lagi, bukan karena aku sangat mencintainya. Setiap kami bertengkar, dia sering membentak dan berkata kasar. Aku merasa tidak berharga sekali waktu itu. Aku menjadi sering murung, dan tidak bersosialisasi. Sampai suatu ketika temanku menyadari beberapa perubahan yang terjadi pada diriku. Di sinilah aku memberanikan diri untuk bercerita pada temanku karena sudah merasa tidak kuat lagi dengan hubungan ini.
Temanku menyadarkanku bahwa ini bukanlah hubungan yang sehat. Dia bilang bahwa suatu saat pasti masih ada laki-laki masih mau menerima masa laluku. Karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang berhak menghakimi orang yang sudah menyesali perbuatannya. Berkat dukungan dari temanku, perlahan aku mulai menjauhi laki-laki tersebut. Tentu dia sangat marah karena aku mulai berani untuk membantah kemauannya. Aku mulai jarang membalas pesan dan mengangkat telepon darinya.
Dan ketika dia memintaku untuk melakukan hubungan seks, aku menolak dan berkata tegas bahwa aku tidak ingin melakukannya lagi. Dia mengancam putus saat itu dan mencoba menyerang dengan berkata “Oh, lo mulai berani ya. Liat aja, kalau kita putus nggak akan ada yang mau sama lo lagi selain gue.” Sempat timbul keraguan, apakah yang dia katakan benar atau tidak. Tapi lagi-lagi temanku meyakinkanku bahwa yang dia katakan itu tidak benar. Sampai akhirnya aku memberanikan diri, menuruti permintaannya untuk putus.
Setelah putus, dia masih saja meneror aku dan terus merendahkanku sebagai wanita gampangan. Sampai aku blokir nomor dan semua sosial medianya. Aku tidak peduli lagi hal yang dia lakukan untuk mengancamku. Beberapa temanku yang mengetahui hal ini justru memberiku dukungan. Mereka sering mengunjungiku dan mengajak keluar untuk main. Dari sinilah aku merasa bahwa diriku ternyata masih sangat berharga, dan aku sangat beruntung memiliki teman-teman yang baik. Untuk apa aku terus terpuruk menangisi pria yang tidak berkontribusi dalam hidupku.
Baca Juga: Gak Harus Meninggalkan Luka, Kekerasan dalam Hubungan Bisa dalam Bentuk Lainnya
Kini aku merasa jauh lebih baik dan bahagia karena tidak ada yang mengekang dan merendahkanku lagi. Karena ini, tiap kali aku menjalin hubungan dengan seseorang, aku berusaha untuk membuat batasan dengan tidak melakukan hubungan intim. Lebih baik putus saja jika pasanganku memaksa untuk melakukannya.
Aku lebih takut kehilangan diri sendiri dibandingkan orang lain. Dia yang menyayangi kamu dengan tulus, pasti akan menjaga dan menghormati kamu. Perlu diingat juga, jika menjalin hubungan romantis bukan berarti harus melakukan hubungan seks. Kita perlu memahami batasan saat berpacaran, manakah yang boleh dilakukan dan tidak.
Sumber: Citra, 24 tahun, nama disamarkan, di Jakarta