Dipaksa-Menikah-oleh-Keluarga

Dipaksa Menikah oleh Keluarga, Tak Ada Kebahagiaan Dalam Pernikahanku

Kisah Utama

Urbanwomen – Aku pernah menjalani hubungan jarak jauh selama tujuh tahun dengan laki-laki yang bekerja di luar kota. Pekerjaannya dan kondisi sinyal di tempatnya membuat kami jarang berkomunikasi, hanya seminggu sekali. Aku tak menuntut apapun darinya, berusaha memaklumi pekerjaannya. Karena itulah kami menjadi kurang mengenal satu sama lain meski lama berpacaran.

Kebetuln dia juga lantas keluar dari pekerjaannya tanpa cadangan pekerjaan baru. Aku mulai ragu, bagaimana jika kami menikah tapi dia belum bekerja kembali. Menikah butuh modal banyak, apalagi kalau memakai upacara adat. Namun di sisi lain terus berdatangan tuntutan dari ibuku dan keluarga untuk segera menikah karena usiaku sudah cukup. Menurut ibuku, jika aku menunda pernikahan, sama saja membuat malu keluarga, bisa menjadi gunjingan tetangga, apalagi aku anak perempuan satu-satunya. 

Karena pacarku sudah tidak bekerja di luar kota kami jadi sering bertemu. Mulai terlihat sifat-sifat aslinya yang membuatku tak nyaman. Apalagi setelah mengenal keluarganya. Tapi ibuku terus mendesak, sampai beberapa kali aku melarikan diri dari rumah untuk menghindar dari paksaan pernikahan. Ibu tidak mau memahamiku, pacarku pun menggampangkan. Tanpa sepengetahuanku dia meminjam uang melalui rentenir untuk modal menikah dengan jumlah yang tidak sedikit. Aku bertambah ragu, mencoba bicara baik-baik pada ibuku yang lantas malah mengatai-ngataiku sok laku sok cantik. Sakit sekali rasanya. 

Ibuku mengatur tanggal pernikahan bersama pendeta tanpa sepengetahuanku. Pendeta dibuat bingung karena tanggal pernikahan berubah-ubah sampai lima kali. Keluarga dan pacarku juga mengatur semau mereka. Akhirnya aku pasrah, kuturuti keinginan mereka. 

Firasatku mengatakan keluarga pacarku mengincar rumah dan tanah milikku. Pacarku ingin bergantung hidup padaku, sementara aku tidak ingin punya suami pengangguran. Aku sudah mandiri, pandai mengumpulkan uang untuk membeli rumah dan tanah. Tapi ibuku lebih malu pada tetangga jika aku tetap membantah. 

Rasa sayangku pada pacarku hilang begitu saja. Pasca menikah, aku merasa tidak nyaman dekat dengannya. Dia belum juga mencari pekerjaan. Tak ada kebahagiaan dalam pernikahanku. Aku merasa tertekan oleh semua tuntutan keluarga. Sampai akhirnya aku minta berpisah. Aku tak butuh lagi rumah dan tanah yang kupunya. Jika mereka mau ambil, silakan saja. Sudah lama aku mengorbankan kebahagiaan diri sendiri demi keluarga yang tidak pernah memikirkan diriku. Aku dijauhi oleh keluarga. Ibuku pun tidak peduli. Aku seperti dibuang begitu saja. 

Baca Juga: Diam-Diam Ayah Menikah Lagi, Aku Belajar untuk Memaafkannya

Saat ini aku tinggal sendirian dan melanjutkan kuliah S2, menyibukan diri agar dapat bangkit kembali. Ada teman yang mendukung, tak sedikit pula yang menyalahkan. Aku mencoba berdamai dengan keadaan, belajar menerima stigma masyarakat bahwa aku adalah seorang single parent. Meskipun belum resmi bercerai, tapi aku  putuskan untuk tidak bersamanya lagi.

Jangan pernah memaksakan diri untuk menikah jika memang belum siap. Penting untuk mengenal keluarga pasangan lebih dulu. Jangan terburu-buru hanya karena omongan orang dan faktor usia. Saling berdiskusi tentang hal apapun sebelum mengambil keputusan menjadi kunci keharmonisan hubungan orangtua dan anak. Biar bagaimanapun hubungan orangtua dengan anak seharusnya memiliki terikat kuat oleh kasih sayang.

Sumber: Isma, nama disamarkan, 27 tahun, di Medan

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu