Saat tumbuh besar, saya bukanlah seorang anak yang menonjol. Selalu yang diam, yang duduk di tempat tak terlihat, jarang berkomentar, tidak dimarahi guru tapi juga tidak diperhatikan guru. Dibilang pintar, ya tidak juga, IQ biasa-biasa saja, hasil belajar sebetulnya juga tidak luar biasa, bahkan seringnya merasa bodoh dan ceroboh. Dibilang anak baik, ya sebetulnya tidak juga, masih banyak anak lain yang menurut saya lebih patut disebut sebagai anak yang baik. Dari sisi pergaulan pun, seringnya merasa tidak dapat menjadi bagian dari sebuah kelompok dalam hubungan pertemanan. Karena ketika tumbuh besar, orang tua saya terhitung sangat protektif, saya seringkali tidak mendapat kesempatan hangout dengan teman-teman yang lain di luar jam sekolah, sehingga saya sering merasa terkucil dari pergaulan, alias kuper. Bukan saja dalam masalah persahabatan, tetapi ketika beranjak remaja, mulai terasa juga dalam persoalan love relationship. Pada saat itu, meskipun teman-teman wanita saya hampir semuanya sudah atau pernah pacaran, saya merasa tidak pernah didekati oleh satupun teman pria sewaktu sekolah. Ya, buat anak remaja hal itu kan merupakan masalah luar biasa penting ya? (Urbanesse pada setuju nggak, silakan angkat tangan J) Singkat kata, dari kecil sampai besar, saya ini terhitung orang yang mediocre, cenderung merasa rendah diri dan insecure.
Ketika dewasa, hal-hal di atas terasa terus terulang dalam kehidupan saya. Seringkali merasa incapable, dan hampir selalu merasa “kurang.” Bisa jadi lebih karena insecurity saya sendiri yang saya bawa terus-menerus dari kecil, sehingga saya pun secara tidak sengaja menghadirkan diri saya sebagai sosok yang less than worthy………in anything, really. Kurang baik, bukan? Kedengarannya saja sudah depresif.
Namun, sekarang ini, jika saya kilas balik atas kehidupan saya, terutama selama kurang lebih dekade terakhir, saya merasa sangat bersyukur atas kebaikan-kebaikan yang sudah diterima. Sepanjang hidup saya, sedikit demi sedikit, saya belajar betapa banyak Kebaikan yang terjadi dalam hidup saya, meskipun saya adalah seorang anak yang berkekurangan di berbagai hal. Kenapa dan bagaimana?
Seperti telah saya sebut di atas, saya seringkali cenderung menganggap diri saya ini tidak pintar, ceroboh, incapable dan tidak mempunyai pengetahuan yang luas. Bahkan, beberapa kali hal ini seperti dikonfirmasi oleh orang-orang yang berada di sekitar saya. Misalnya, ketika sedang menjalani internship semasa kuliah, saya tidak sengaja mendengar seorang senior staff yang bertugas membimbing saya mengeluh kepada temannya dan menyebut saya “tidak terlalu pintar.” Sakit sekali rasanya mendapat konfirmasi seperti itu, dan bisa dibayangkan dampak dari hal semacam itu kepada seorang gadis muda yang tumbuh sudah dengan kadar insecurity yang agak tinggi. Namun, dari kejadian ini ada Kebaikan yang saya terima, yaitu motivasi yang sangat kuat untuk membuktikan bahwa perkataan staff pembimbing tersebut tidak benar. Sepanjang sisa masa internship itu, saya meningkatkan semangat belajar saya untuk mengejar ketertinggalan saya dibanding dengan intern-intern lainnya, serta membuktikan kepada staff pembimbing serta kepada diri saya sendiri bahwa saya mampu. Pada akhir masa internship tersebut, saya dikagetkan oleh staff pembimbing saya yang mengatakan terima kasih atas bantuan saya selama internship dan mengucapkan semoga sukses dengan senyum. Ya, bukan berarti dia berpikir saya pintar sih, tapi saya merasa setidaknya dia tidak lagi merasa kesal dan berpikir bahwa saya “tidak pintar.” Ketika kuliah dimulai kembali pun, saya merasakan motivasi tinggi untuk kerja keras dan membuktikan bahwa I am not stupid, bahwa saya sebetulnya tidak bodoh, melainkan berharga. Tidak hanya itu, melalui masa internship tersebut, ada Kebaikan lain yang saya dapatkan, seorang teman baru yang sampai sekarang menjadi salah satu teman terdekat saya, yang secara timbal balik memperlakukan saya sebagai seorang teman yang penting baginya. Hal ini sangat mengangkat rasa percaya diri saya, mengetahui bahwa saya ternyata bukan orang yang “kurang” sehingga teman dekat pun tidak punya. Hanya saja memang mungkin baru bisa bertemu dengan teman-teman yang tepat untuk saling mendorong dan memberi semangat, that would encourage each other, not bring each other down. Urbanesse tentunya mengerti betapa pentingnya arti sebuah pertemanan, yang dapat membawa seseorang jadi lebih baik, atau sebaliknya malah menjerumuskan.
Lalu, ketika mencari pekerjaan menjelang lulus kuliah, kembali saya merasa kecil hati melihat sulitnya saya mendapat interview kedua. CV saya tidak jelek, sehingga cukup banyak mendapat panggilan interview, namun karena keterampilan komunikasi yang kurang, dengan kendala bahasa yang kalah dibanding kandidat lainnya (catatan: saya kuliah dan mencari pekerjaan di AS pada saat itu), saya tidak pernah berhasil melewati interview tahap pertama, sehingga ketika teman-teman seangkatan lainnya sudah mendapatkan setidaknya 2-3 tawaran pekerjaan di firma akuntan Big Four, atau setidaknya firma akuntan publik ternama, yang merupakan pekerjaan ideal bagi lulusan jurusan akuntansi seperti saya, saya masih belum mendapatkan 1 tawaranpun, di perusahaan manapun. Jadi, ketika teman-teman lain sibuk menimbang-nimbang mana pekerjaan yang akan lebih baik untuk karir mereka, saya sibuk menimbang-nimbang apakah saya akan dapat pekerjaan sama sekali, dan memikirkan berapa lama saya harus menganggur setelah selesai kuliah? Maklum, hidup di negara adidaya tidak murah juga, khususnya bila tanpa pekerjaan dan hanya dengan ijin tinggal sementara.
Namun, sekali lagi selalu ada saja Kebaikan yang terjadi, dan memang tidak pernah meninggalkan saya. Hanya saja, kapan waktu yang tepat memang tidak ada yang tahu. Beberapa minggu sebelum kelulusan saya, saya mendapat panggilan dari sebuah perusahaan, dan lucu sekali, interview di perusahaan ini sama sekali tidak terasa seperti interview. Tidak ada trick questions yang ceritanya bertujuan untuk menyaring orang-orang berkualitas terbaik. Mereka memperlakukan saya seakan-akan sudah pasti akan menjadi bagian dari perusahaan ini. Dan yang luar biasa, meski perusahaan ini bukan perusahaan yang pernah saya dengar sebelumnya (dan jujur, saya melamar dan memberikan CV hanya iseng saja tanpa berharap banyak), ternyata perusahaan ini cukup besar dan saat itu termasuk salah satu perusahaan Fortune 500. Lebih luar biasa lagi, ternyata perusahaan ini bersedia mensponsori visa kerja saya. Sebagai catatan, mencari perusahaan yang bersedia mensponsori visa kerja itu sangat sulit dan kompetitif.
Di perusahaan inilah saya tumbuh dan mendapat pengalaman kerja yang luar biasa mendukung bagi perjalanan karir saya. Meski saya tidak pernah bekerja sebagai auditor, di firma akuntansi ternama, dan sebagainya, saya mendapat mentor-mentor yang mengajarkan hal-hal yang sama yang bisa didapatkan di sana. Terlebih lagi, saya juga mendapat eksposur langsung akan leadership skills atasan-atasan saya, yang bukan saja merupakan alumni Big Four, tetapi juga merupakan pakar di bidang Six Sigma. Bahkan, selama saya bekerja di perusahaan ini, dengan dukungan mereka saya berhasil mendapatkan sertifikasi CPA, yang merupakan pencapaian yang dianggap sangat berarti bagi seseorang yang berkarir di bidang akuntansi.
Selama saya bekerja di sana, saya tetap merasa bukan karyawan yang gemilang, sehingga saya terdorong untuk selalu berusaha keras melakukan yang terbaik, dan bekerja lebih keras daripada yang lain untuk bisa sejajar dengan yang lain. Meski saya sering merasa kecil hati, namun nyatanya saya merasa sangat disayang dan diurus dengan baik oleh atasan-atasan langsung saya dan para teman-teman senior saya di tim yang sama. Saya mendapatkan masukan-masukan positif dari para atasan dan kolega saya, yang sangat meningkatkan rasa percaya diri saya dan motivasi untuk terus menjadi lebih baik. Tentunya, hal ini juga berdampak baik bagi penyakit insecurity saya.
Beberapa tahun kemudian, sekali lagi saya mengalami Kebaikan. Ketika terjadi pergantian manajemen dan kepemilikan atas perusahaan tempat saya bekerja, sehingga terjadi ketidakpastian atas proses ijin tinggal permanen saya, saya mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Meskipun pada saat itu saya belum berencana kembali ke tanah air for good, namun karena baiknya kesempatan yang diberikan tersebut, saya memutuskan untuk kembali, meskipun merasa belum siap. Dan, tidak sedikitpun saya menyesal, malah merasa bangga karena dapat kembali ke tanah air membawa pengetahuan yang dapat dibagikan dan belajar pengetahuan lebih dari teman-teman di negara yang berpotensi tinggi seperti Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Hingga saat ini, banyak sekali hal-hal baik yang terjadi dalam kehidupan profesional saya. Meskipun banyak up and down, seperti layaknya semua jenis pekerjaan di dunia ini, saya sangat banyak belajar dari atasan-atasan dan teman-teman yang baik dan tim yang peduli.
Sampai saat ini, beberapa orang yang saya kenal menganggap perjalanan karir saya sukses. Ya, tentu tidak semua orang beranggapan seperti itu, kan sukses itu relatif ya. Namun, menurut saya, untuk seseorang yang tidak terlalu gemilang, perjalanan karir saya sukses, dan no thanks to myself, but big big hearty thanks to Goodness, yang senantiasa mengasihi dan menjejali saya dengan segala macam kebaikan.
Lalu bagaimana dengan insecurity saya di masalah pergaulan dan love relationship? Sepanjang perjalanan kehidupan dewasa saya, terutama setelah meninggalkan bangku kuliah, saya bertemu banyak sekali teman-teman dekat, dan grup-grup yang benar-benar menganggap saya sebagai bagian penting dari komunitas tersebut. Mereka pun luar biasa baiknya, dan dalam komunitas tersebut, kita semua saling peduli, dan terutama saya pribadi, merasa bahagia sekali karena memiliki teman-teman yang sangat peduli pada saya. Bayangkan perasaan seseorang yang biasanya merasa tidak ada yang mau berteman atau peduli dengannya, lalu memiliki segerombolan teman-teman yang menganggapnya bagian yang penting dan krusial bagi sebuah komunitas tertentu. Seringkali saya bahkan merasa tidak atau belum bisa mengembalikan kebaikan dan kepedulian mereka semua kepada saya. Saya berharap semua kebaikan mereka akan terbalas.
Lebih lanjut, setelah saya melajang selama tujuh tahun pasca sebuah long-term relationship yang tidak dapat diteruskan lagi, Tuhan memperkenankan saya untuk bertemu dengan seorang pria yang menyayangi saya apa adanya. Meski kami banyak perbedaan, saya dapat merasakan betapa sayang dan pedulinya dia pada saya. Dia dewasa dan serius untuk menjalin hubungan dengan saya, sehingga sekitar setahun kemudian, saya menjadi istrinya. Kalau sebelumnya saya selalu menganggap bahwa istilah “jodoh jatuh dari langit” itu mustahil dan merupakan retorika belaka, saya kali ini benar-benar menganggap jodoh saya benar-benar dijatuhkan dari langit oleh Sang Pencipta sendiri, dijatuhkan tepat di depan mata saya. Pada saat itu, I didn’t look, I wasn’t particularly expecting, I was fully-focused on work and not much else, and there he is. Apa hal itu bukan merupakan kebaikan luar biasa?
Kalau mau diteruskan, ya banyak lagi daftar Kebaikan di hidup saya, endless list. Namun, dengan dua contoh utama di atas saja, rasanya cukup untuk encourage atau memberikan semangat lebih bagi para Urbanesse yang mungkin sedang merasa kecil hati, atau mulai kehilangan harapan atas sesuatu yang sangat diinginkan.
We are always in Goodness, whether we realize it or not, realize it now or later, thus never fear and never lose hope. Ketika saya hilang harapan, saya mengingat betapa banyak Kebaikan dalam hidup saya dan betapa saya harus selalu bersyukur atas apa yang telah saya terima dan alami sejauh ini. Dengan demikian, saya pun jadi merasa memiliki kewajiban untuk juga menyebarkan kebaikan bagi sesama saya, karena saya sudah lebih dulu menerima banyak Kebaikan. I am and will be a much better person because I am always in His goodness, and for that, I am eternally grateful.