mengejar-cita-cita

Hampir Mengubur Cita-Cita, Demi Memenuhi Ekspektasi Keluarga

Kisah Utama

UrbanWomen – Aku Syila, 28 tahun, guru, di Jawa. Sejak sekolah, aku memiliki cita-cita ingin menjadi seorang guru. Karena melalui pekerjaanku ini, aku memiliki kesempatan yang besar untuk mengabdi dan menjadi inspirasi anak-anak dalam menjalani masa depannya. Bertemu dan belajar bersama siswa yang memiliki karakter berbeda dalam satu kelas terasa sangat menantang bagiku. Merasa ada kebanggaan sendiri ketika berhasil mendidik mereka sampai berhasil.

Di awal memilih profesi sebagai guru honorer, banyak yang tidak setuju dengan pilihanku ini. Terutama dari keluarga, orangtuaku kurang setuju jika aku menjadi guru honorer karena gaji yang didapat tidak seberapa. Di sinilah aku mulai merasa ragu, karena ini adalah cita-cita yang sudah aku impikan sejak lama. Orang tuaku menyuruh untuk memilih pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang lebih besar.  Tapi aku tetap ingin mengawali karir sebagai seorang guru walaupun honorer.

Suatu ketika aku mencoba untuk melamar ke sekolah yang ternyata ada guru honorer yang berhenti dan aku diterima menjadi guru honorer. Sampai aku bertemu dengan kepala sekolahnya dan beliau berpesan kalau menjadi guru honorer, harus siap dengan konsekuensi, yakni gaji di bawah standar. Hingga akhirnya aku menerima gaji pertama menjadi seorang guru. Meskipun gaji yang didapatkan sangat kecil, tapi aku mencari pekerjaan sampingan untuk menambah uang jajan. Aku mendaftar di bimbel, dan berangkat dari sore sampai malam. 

Semakin lama, aku semakin meragukan cita-citaku karena mulai merasakan beban pekerjaan yang menumpuk. Berbagai macam pekerjaan sudah aku lakukan seperti membantu guru senior, dan mengurus administrasi. Saat merasa betapa lelahnya, ada saja orang yang menyalahkan pilihanku ini, “kan udah dibilang ngapain jadi guru, hasil nggak seberapa, tapi capek banget. Mending cari pekerjaan yang penghasilannya besar, untuk cita-cita mah nanti urusan belakangan.” Seakan-akan mereka menyalahkan atas pilihan hidup yang aku jalani.

Karena hanya sedikit yang mendukung, aku sempat merasa ragu, apakah benar yang mereka katakan bahwa aku salah memilih dan cita-cita yang selama ini aku impikan tidak penting. Seharusnya aku lebih memikirkan uang dibandingkan melakukan hal yang aku sudah impikan sejak lama. Bimbang sekali waktu itu, memilih untuk tetap melanjutkan ini atau tidak. Butuh waktu berbulan-bulan, karena sejujurnya meskipun lelah aku merasa ada kepuasan tersendiri ketika aku menjalani hal yang aku suka. Karena ini bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaan untukku.

Pada akhirnya, aku memilih untuk tetap menjadi seorang guru dengan mencari sumber penghasilan tambahan. Hingga kini aku meyakini, bahwa pilihanku ini membuatku merasa lebih bahagia. Aku juga memiliki hak untuk memilih seperti apa kehidupan yang akan aku jalani kedepannya. Aku tahu seperti apa konsekuensinya. 

Baca Juga: Mulai dari Menteri Keuangan sampai Ilmuwan, Wanita Bebas Memilih Pekerjaan

Kini keluargaku sudah mulai bisa menerima pilihanku mau bekerja sebagai apa. Aku berhak memilih jalur karir sendiri. Hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan untuk mengerjakan sesuatu yang tak memberi diri sendiri kebahagiaan. Urusan karir dan pekerjaan memang bisa dibilang cukup sensitif pada setiap individu. Karena tak hanya melibatkan passion melainkan juga faktor kebutuhan, kepuasan batin, dan prioritas. 

Sumber: Syila, 28 tahun, nama disamarkan, di Jawa

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu