UrbanWomen – Aku Yunita, 24 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Setelah kurang lebih 2 tahun pacaran, aku baru menyadari betapa pentingnya bahasa cinta dalam hubungan. Aku sudah cukup lama berpacaran dengan pacarku. Kami sudah saling mengenal sejak sekolah, hingga akhirnya kami memutuskan untuk berpacaran. Dulu, ketika ada orang yang bilang bahwa mereka sudah berpacaran selama beberapa tahun dan merasa bosan, aku seperti menyepelekan. Aku tidak percaya kita bisa merasa bosan berpacaran dengan seseorang yang kita sukai. Bayanganku saat itu, pasti akan terasa menyenangkan bersama orang yang kita sayangi setiap hari, mana mungkin terasa bosan.
Sebelum mendapatkan pekerjaan, kami sering menghabiskan waktu bersama untuk jalan-jalan. Kami memiliki bahasa cinta yang sama, yaitu quality time. Tiap kali bertemu, kami melakukan hal yang begitu menyenangkan dan saling berbagi cerita seminggu belakangan. Seru dan aku yakin jika ini terus dilakukan hubungan kami tidak akan membosankan.
Tibalah waktunya ketika kami sudah mulai mencari pekerjaan. Komunikasi kami menjadi berkurang yang semula hampir setiap hari, menjadi 2-3 kali sehari untuk sekedar chat, telepon, atau video call. Semakin saling sibuk, komunikasi kami semakin menurun menjadi 5 hari sekali atau bahkan seminggu sekali. Aku mengira bahwa dia terlalu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untukku, begitu pun sebaliknya.
Dia juga berpikir bahwa aku yang terlalu sibuk sampai lupa memberi kabar. Kualitas komunikasi kami semakin menurun. Alih-alih membahas hal yang menyenangkan, perdebatan justru semakin tak terhindarkan. Saling menyalahkan, karena merasa keinginannya tidak terpenuhi. Setelah terus-menerus berdebat, kami sepakat untuk membicarakan masalah ini hingga tuntas. Benar saja, ternyata dia juga merasa bahwa hubungan ini membosankan. Apalagi ketika kami sudah memiliki kesibukan masing-masing.
Beberapa cara sudah dilakukan untuk hilangkan rasa bosan, seperti melakukan aktivitas bersama entah itu masak atau nonton film bersama, tapi tetap saja bosan. Aku sempat bertanya-tanya, apakah ini karena aku sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya. Bahkan sempat berpikir, bahwa dia sengaja melakukan ini supaya aku segera pergi dari kehidupannya. Tapi ternyata tidak demikian. Setelah mencoba beberapa hal tapi selalu gagal, aku dan pacarku menggunakan cara terakhir yaitu dengan tidak berkomunikasi sama sekali, mencoba saling menyendiri sementara waktu.
Kami sudah sepakat setidaknya selama sebulan jika memang diantara kami ada yang merasa tetap sama, kita akan saling mengungkapkannya. Dan memang tidak bisa lagi dipertahankan, mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri hubungan. Sesudah kurang lebih sebulan, aku sadar bahwa aku masih sangat membutuhkannya. Akulah yang menghubungi dia lagi. Ya, dia merasakan hal yang sama. Dari sini, kami mulai saling menanyakan apakah dia merasa kebutuhannya sudah terpenuhi dan bagaimana perasaan kami tentang hubungan selama ini. Aku mengungkapkan, bahwa terkadang dia meremehkan masalah kecil yang tanpa sadar bisa melukai perasaanku. Seperti membatalkan janji dan tidak memberi kabar sama sekali. Aku memilih untuk memendamnya selama ini karena takut masalahnya akan membesar dan dianggap berlebihan.
Baca Juga: Pasca Liburan, Aku Merasakan Stres dalam Waktu yang Cukup Lama
Sedangkan alasan kenapa pacarku merasa bosan, karena dia merasa aku terlalu sering menuntut untuk memberi kabar. Aku mudah marah hanya karena masalah sepele menurutnya. Setelah saling mengetahui, maka kami belajar untuk saling memaafkan dan bertekad untuk komitmen. Mulai saling mengingat, kenapa aku memilihnya begitupun sebaliknya. Karena kami sudah berkomitmen, maka tidak ada alasan untuk saling melepaskan pergi. Kesalahpahaman ini kami putuskan untuk tetap diperbaiki. Hingga kini hubungan kami semakin serius, aku tidak lagi mudah marah hanya karena masalah sepele. Saling mengerti dan tidak menuntut.
Akui saja terlebih dahulu bahwa kamu sedang merasa bosan dalam hubungan ini. Jangan merasa bersalah tapi berdamailah dengan kondisi, maka perlahan cara untuk mengatasinya akan terpikirkan.
Sumber: Yunita, 24 tahun, nama disamarkan, di Jakarta