ibu alami KDRT

Ibu Alami KDRT, Menjadikan Aku Lebih Berhati-Hati Memilih Pasangan

Kisah Utama

UrbanWomen – Aku Alfiyah, 30 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Bukan aku yang mengalami KDRT tapi ibuku. Aku adalah anak pertama dari 1 bersaudara. Sejak kecil, aku sudah sering melihat kedua orang tuaku bertengkar. Ibuku yang hanya bekerja sebagai ART seringkali direndahkan oleh ayah. Setiap bertengkar, ayah tak segan membentak ibu di depanku. Ayah tidak peduli bagaimana perasaanku yang ketika itu waktu kecil melihat kejadian tersebut. Masalah ekonomi menjadi faktor utama kenapa mereka sering bertengkar.

Pernikahan ibu dan ayah bertahan cukup lama, ibu sering mengatakan bahwa dirinya mempertahankan rumah tangga demi anak-anaknya. Ibu tidak mau aku tumbuh besar tanpa sosok ayah. Tapi, tanpa mereka sadari hal ini justru membuatku takut menjalani hubungan dengan seorang pria. Sampai ketika lulus SMA, aku tidak pernah berpacaran. Apalagi, sebagai anak pertama beberapa kali ibu sering bercerita padaku tentang ayah. 

Ibu mengatakan bahwa sebetulnya ayah sudah kasar seperti itu sejak mereka berpacaran. Namun, ibu masih mencoba memaklumi karena selama pacaran, ayah tidak pernah memukul ibu, hanya membanting barang ketika marah dan berkata kasar. Sehingga ibu tetap mau menikah dengan ayah. Ibu memiliki keyakinan, jika ayahku akan berubah ketika dia sudah punya anak. “Mungkin nanti dia akan lebih bisa mengontrol emosi jika sudah memiliki anak” katanya. Tapi kenyataannya tidak demikian.

Ayah bertambah kasar kepada ibuku. Apalagi ketika berumah tangga kebutuhan semakin banyak, ayah semakin kesulitan mengendalikan emosinya karena sudah memusingkan banyak hal. Berawal dari hanya sekedar kata-kata kasar, ayah mulai berani memukul ibu. Ayah pernah berkata bahwa ibu pantas diperlakukan seperti itu karena melakukan kesalahan atau suatu hal yang membuat ayah marah.

Ayah pernah menampar dan memukul  ibu dengan sebuah benda. Yang bisa ibu lakukan saat itu hanya menangis, sedangkan aku belum mengerti apapun tentang ini. Sampai akhirnya setelah lulus sekolah, ibu memutuskan untuk bercerai dari ayah. Rumah tangga kedua orang tuaku yang kacau membuat aku sempat merasa takut berpacaran. Tapi ibu selalu mengingatkan bahwa tidak semua laki-laki seperti itu. Apakah pasangan kita bisa melakukan KDRT atau tidak, sebetulnya bisa dilihat ketika kita pacaran. Ibu mengingatkan, jika suatu saat aku memiliki pacar, namun dia suka membentak bahkan sampai main tangan lebih baik langsung ditinggalkan, karena biasanya dia akan melakukan hal yang sama ketika menikah.

Ibu selalu berusaha memberitahu padaku agar aku tidak menyamaratakan semua laki-laki jahat. Aku sudah mulai bisa berpikir dewasa ketika aku sudah bekerja, karena sudah banyak temanku yang sudah menikah dan berusia lebih tua dariku. Aku belajar banyak dari mereka tentang bagaimana membangun hubungan yang sehat. Akhirnya aku mencoba untuk membuka diri menjalin hubungan dengan pria itu. Aku mengenalkannya pada ibu. Seperti pesan ibuku, aku harus mencari tahu bagaimana karakternya dan apa yang dia lakukan ketika marah.

Baca Juga: 5 Cara Menjadikan Dirimu Sendiri ‘Rumah’

Tidak ingin terburu-buru menikah, aku mencoba menjalani hubungan dengan pria itu dalam waktu yang cukup lama. Selama itu, dia tidak pernah berkata kasar padaku. Ketika marah, dia hanya memerlukan waktu sendiri terlebih dahulu. Jika sudah tenang, dia akan berbicara padaku. Sejak awal aku sudah menegaskan padanya, jika aku tidak ingin memiliki pasangan seperti ayahku. Jika dia tidak bisa mengontrol emosi, lebih baik jangan bersamaku. Karena sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama, akhirnya aku memutuskan menikah dengannya. Sampai saat ini, dia tidak pernah kasar padaku. Paling penting, dia selalu menghormati ibuku. Kondisi ibu semenjak bercerai dari ayah juga jauh lebih baik dan ceria lagi.

Perilaku KDRT bisa dihentikan sebelum menikah. Kita tidak memiliki tanggung jawab untuk mengubah perilakunya yang kasar dan hanya dirinya sendiri yang bisa mengubahnya. Apalagi, tidak ada seorangpun yang berhak menghakimi kesalahan dengan kekerasan, apalagi oleh pasangan yang seharusnya menjadi tempat bersandar.

Sumber: Aku Alfiyah, 30 tahun, nama disamarkan, di Jakarta

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu