ibuku-kartiniku

Ibuku, Kartiniku

Inspirasi Hati

Urbanwomen – Panggil saja aku Lyan. Aku lahir dari keluarga sederhana. Cerita hidupku tidak seperti kebanyakan orang. Saat usiaku 4 tahun orang tuaku bercerai. Ayahku menikah lagi. Aku tentu belum mengerti apa itu perceraian. Aku malah sudah beribu tiri, meski kami tidak pernah bertatap muka secara langsung.

Kala itu aku ingat ibuku juga pergi meninggalkanku. Ia pergi untuk menjadi TKW di negeri jiran. Tentu saja untuk menghidupiku. Setidaknya, begitulah salah satu bentuk cintanya padaku. Mencari uang agar kami berdua bisa hidup. Bertahan. Tidak seperti ayahku, yang pergi begitu saja, tidak mau menghidupi kami berdua sampai hari ini. Mungkin dia juga sudah lupa punya anak perempuan dari ibuku. Tentu saja aku hanya bisa menangis, hampir setiap hari. Rasanya tidak adil. Semua orang pergi meninggalkanku. Kalau memang kehadiranku tidak diharapkan kenapa aku dilahirkan?

Namun, entah apakah bisa dibilang keberuntungan atau bukan, karena kejadian itu berlangsung saat aku masih kecil. Jadi aku juga tidak terlalu merasakan kesedihan yang mendalam, karena kerjaku hanya makan, main, dan tidur. Seminggu ditinggal ibuku aku sudah lupa. Aku menjadi anak nenek dan budeku — merekalah pengganti ayah dan ibuku. Aku dibesarkan oleh mereka berdua sampai SMA. Ibuku hebat, mampu menyekolahkanku sampai ke jenjang yang jauh lebih tinggi dibanding anak-anak lain di sekitarku.

Perjuangan ibuku benar-benar patut diacungi jempol. Ia rela menjadi TKW yang berpindah dari satu negara ke negara lain, demi membiayai segala kebutuhanku. Nenekku pernah bilang, ibuku selalu berpesan tidak apa-apa kalau ia bodoh, tidak sekolah, yang penting aku harus sekolah. Anaknya harus belajar setinggi mungkin, tidak peduli berapapun biayanya. Uang bisa dicari, tetapi waktu tidak bisa kembali lagi. Jadi kumanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya. Meski seringkali aku iri pada teman-temanku, dan selalu sedih saat pengambilan rapor atau saat pertemuan wali murid orangtua teman-teman sekolahku bisa datang. Tetapi aku tetap bangga pada ibuku. Tidak ada yang bisa mengalahkan kehebatan ibuku.

Setelah lulus SMA aku berniat melanjutkan ke perguruan tinggi. Sambil menunggu jadwal pendaftara aku mulai mencoba cari kerja untuk mendapat pengalaman. Aku mengawali karir dengan bekerja di sebuah toko roti. Walaupun bayaran yang kuterima tidak besar aku tidak khawatir karena ibuku rajin mengirim uang untuk mencukupi kebutuhanku. Memang bukan uang yang kucari, melainkan lingkungan baru. Aku ingin tahu bagaimana rasanya terjun ke dunia kerja. Bertemu orang baru, belajar disiplin, mengetahui sistem kerja yang terstruktur, serta memiliki tata krama yang baik ketika melayani customer.

Aku mendapatkan itu semua. Setahun bekerja di toko roti aku mendapatkan teman-teman dan keluarga baru yang luar biasa. Namun aku memutuskan untuk berhenti. Aku harus melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Aku pindah ke kota Semarang. Meski sedih karena harus berpisah aku kembali mendapatkan banyak teman baru dari berbagai latar belakang.

Singkat cerita aku mendapatkan seorang teman baik di kampus. Sahabatku ini menawariku bergabung di sebuah perusahaan keuangan, sebagai financial consultant. Aku mengiyakan tawarannya. Dia juga yang memperkenalkanku pada kolega di perusahaan itu. Tetapi dia sendiri lebih memilih bekerja sebagai SPG di sebuah pusat perbelanjaan. Sebagai mahasiswa yang bekerja dan punya uang sendiri rasanya menyenangkan. Setiap malam kuhabiskan gajiku untuk pergi clubbing, dugem, mengonsumsi minuman beralkohol. Sialnya, lingkungan kantorku juga selalu melakukan hal yang sama. Selepas bekerja kami selalu pergi berkaraoke ramai-ramai, dan tentu saja berujung pada minuman beralkohol.

Seiring berjalannya waktu aku semakin tidak bisa membagi waktu antara kerja dan kuliah. Aku merasa wajar saja saat itu aku lebih memilih bekerja karena mendapatkan gaji dan bonus besar. Kuliahku pun terabaikan. Aku sering membolos. Sedihnya, ibuku tahu soal ini. Ia sangat menyayangkan dan kecewa karena aku mengabaikan kuliahku.

Dua tahun berselang, aku mulai dekat dengan manajerku. Ia sering memberi perhatian lebih dari seorang teman. Aku pun meresponnya dengan baik. Tak lama, ia meminta untuk menikahiku. Aku senang, tapi takut. Ia juga mengajukan satu syarat sebelum menikah. Ia ingin aku meneruskan sekolahku, menamatkan kuliahku. Ia juga bersedia jika harus membayar lebih untuk biaya keterlambatannya. Aku sempat kaget, dan juga terenyuh. Laki-laki ini baik sekali padaku. Tapi aku jadi ragu, kenapa dia bisa sebaik itu? Apa benar dia mencintaiku, atau hanya ingin memperdayaku? Aku tidak mau kisah ibuku terulang pada rumah tanggaku.

Butuh waktu lama untuk meyakinkan diriku sendiri, hingga akhirnya kami menikah. Dan benar, dengan sabar suamiku mendampingiku sampai lulus kuliah. Tentu saja ibuku sangat senang memiliki menantu semata wayangnya ini. Suamiku, yang dulunya adalah manajerku ini, juga meminta ibuku berhenti bekerja. Dia menyanggupi untuk membiayai kami bertiga.

Baca Juga: Ibuku Mengendalikanku

Terima kasih, Tuhan. Ternyata tidak semua laki-laki seperti ayahku. Terima kasih, karena aku berhasil menyembuhkan trauma dengan menghadirkan laki-laki baik seperti suamiku. Ini semua juga berkat doa dan perjuangan ibuku. Terima kasih, Ibu. (*)

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu