Lelah Bekerja Nikah Aja Deh! Kenyataanya Tidak Semudah Itu

Cinta & Relasi

Wooo sedapp…kedengarannya ibarat heavily filtered photo vs no filtered photo di social media hehehe…! Apakah benar sering terjadi problem dan perbedaan realita saat pacaran dan memasuki masa pernikahan, baik dari sifat maupun pernikahan? Yuk, kita ulik-ulik topik ini berdasarkan pengalaman pribadi aku dan suami. Umur pernikahan kami sampai saat ini masih seumur jagung, 1,5 tahun aja. So, yuk sama-sama belajar!

  1. Ekspektasi yang diangkat Urban Women: Menikah merupakan solusi ketika merasa lelah bekerja. Jika menikah maka kehidupan ekonomi kita akan dijamin oleh pasangan dan dengan menikah tidak harus merasa capek-capek lagi bekerja.

Realita saya pribadi:

Jujur dulu pas masih single, pikiran ini pernah terbersit di benak aku, khususnya sewaktu burnout sama ex boss atau ex clients. Ngeliat teman yang sudah menikah dan nggak kerja, mengurus anak yang lucu-lucu, hidup lebih dari cukup, rumah bagus dan besar, support team aka pembantu rumah tangga-babysitter-supir-satpam rumah pribadi semua tersedia, aku bilang ke dia, “Wah, asik juga ya kayaknya hidup kayak kamu.” Dia bilang, “Nggak juga lho, jadi ibu rumah tangga banyak kerjaannya di rumah nggak selesai-selesai. Tiap hari ada aja yang harus dikerjakan.” Mungkin dia salah satu contoh ibu rumah tangga yang bertanggungjawab hehe…

Sekarang, ketika aku udah menikah, suami bisa provide tanpa aku harus bekerja. Ada fase dimana aku mengalami dimana I can do whatever I want. Badan sehat, belum punya anak, nggak perlu nanggung biaya keluarga, orang tua dan mertua juga tinggal di kota lain dan mereka masih sehat dan berkecukupan…jadi aku vakum kerja beberapa minggu yang lama-lama bikin aku bosan, nggak ada tekanan. Lalu gradually aku bekerja sesuai jam kerja yang aku mau, tanpa komitmen. Tetap bosen, nggak happy, hidup rasanya kurang tantangan. Daripada lama kelamaan mikir yang nggak-nggak dan malah cari tantangan di tempat yang tidak benar, aku fokuskan kembali energi, hati dan pikiranku untuk balik bekerja 5 hari dalam seminggu sambil menggali kesempatan yang sesuai dengan tujuan utamaku, yaitu mengajar di council preschool dan menggali peluang untuk menggambar dan menulis buku anak di Australia.

Jadi, tidak bekerja bukan berarti hidup nggak cape lo. Bisa aja cape batin yang gak keliatan kan :))

  1. Ekspektasi yang diangkat Urban Women: Dengan menikah, kekecewaan selama masa berpacaran yang penuh dengan air mata akan berakhir di gantikan dengan kebahagiaan. Menikah adalah kunci kebahagiaan.

Realita saya pribadi:

Yang ini dari semasa single, aku berpikir sebaliknya. Aku malah berpikir menikah itu bikin tidak bahagia, kayak masuk dalam kerangkeng dan tidak ada kebebasan. Setelah aku analisa lagi, persepsi itu tercipta karena konflikku dengan keluarga yang meruncing. Padahal, pernikahan adalah esensi dari keluarga. Jadi, walau di sekelilingku sebenarnya banyak pernikahan yang bahagia, itu tidak menarik perhatianku dan fokusku malah tertuju kepada pernikahan-pernikahan yang tidak bahagia. Your mind will determine which perspective you look at, your perspective will determine your shape of your life.  

Setelah melalui proses konseling keluarga yang sangat menguras air mata karena banyak isu-isu di masa lalu yang ternyata harus aku bereskan, aku dan keluarga menjadi dekat karena kita jujur satu sama lain. Dan beberapa tahun setelah itu, aku menikah. Keluarga pada terbengong-bengong, karena mereka tahu ketakutanku akan konsep pernikahan dan sejarah percintaanku selalu berakhir di tengah jalan karena karakterku yang keras kepala. Aku baru sadar sekarang, ketakutanku dan kekerasanku adalah bagian dari self defence karena hatiku yang terluka bertahun-tahun tidak melalui proses penyembuhan. Sekarang, aku lebih mudah untuk mendengar dan menerima masukan dari orang lain, melihat situasi dari banyak sisi, menerima konsep it’s okay to disagree but I still love you anyway, dan tahu saatnya untuk menahan mulut untuk diam. Itu semua adalah buah-buah dari konseling keluarga, yang ternyata merupakan useful dispositions and skills for a marriage.

Jadi, kalau menikah untuk bahagia, jelas aku tidak setuju. Similar attracts similar, and marriage will magnify our principles of life. Generous tambah generous, selfish tambah selfish. Bayangkan, apa jadinya kalau aku step inside the marriage dengan emotional baggages di masa lalu dengan keluarga, lalu aku menuntut suami untuk membahagiakan aku, dan sebaliknya suamiku yang sebelumnya memang pernah mengalami perceraian menuntutku untuk menjadi istri jelmaan malaikat yang bisa membahagiakan dia. Bukannya bahagia malah bisa jadi world war hahahaha…..Aku belajar untuk own my own happiness. Kebahagiaan yang sejati dan teruji itu berasal dari Tuhan lalu masuk ke dalam diri dan mengalir ke luar, bukan sebaliknya.

  1. Ekspektasi yang diangkat Urban Women: Menikah bisa selalu bersama (ada teman curhat, partner kala beristirahat dan lebih banyak kebersamaan yang pasti akan membuat hati selalu tenang dibanding saat masih berpacaran).

Realita saya pribadi:

Statement ini sepertinya berasal dari quality time sebagai love language. Aku paham benar karena itu salah satu love language tertinggiku hehehe…Aku sadar ini salah satu goalku dalam pernikahan jadi untuk merealisasikannya, butuh usaha konsisten. The real quality time dibangun atas dasar kejujuran satu sama lain dan take and give. Dan kami merasa lebih fulfill ketika quality time kami bisa diarahkan untuk a greater good. Misalnya, kami sama-sama memimpin tim pelayanan di gereja yang kami berdua setuju untuk melakukannya.

Tapi, ada kalanya juga kami berdua mau privacy, jadi sesibuk apapun juga kami berusaha untuk meluangkan satu malam seminggu untuk dinner date. Di sisi lain, aku dan suami juga cukup memberikan personal space for us to thrive as an individual. Misal, aku memberikan suami kebebasan untuk mengunjungi anak tiriku tanpa harus selalu bersama aku. Aku memilih untuk berkomunikasi dengan anak tiriku via email pribadi tanpa harus cc suami. Aku encourage suami untuk build his own brotherhood tanpa aku harus ikut, misalkan basketball time on the weekend, dan aku juga bisa pergi dengan my girlfriends ke art gallery tanpa harus bersama suami. Dengan cara ini, kami malah merasa pernikahan tambah berwarna.

Point pembelajaran dari pernikahan saya adalah :

  1. Ketika kita menemukan satu, kita tahu itu. Dan kita merasakan kedamaian. Dan anehnya kita akan berjuang untuk hubungan kita tersebut meskipun itu bertentangan dengan standar duniawi diri kita (tinggi, status pernikahan, dll.)
  1. Tidak ada pria yang sempurna tetapi secara pribadi saya memilih orang yang berbagi perjalanan spiritual yang sama dengan saya di mana dia sudah mengenal-Nya dan ingin dibangun bersama. Tetapi kecepatan pertumbuhan adalah masalah yang sama sekali berbeda :)) jadi bersabarlah satu sama lain. Jadilah menyenangkan dan NIKMATI prosesya. Bicara cinta dan dorongan banyak, terutama jika bahasa cintanya adalah penegasan.
  1. Konseling bagi saya sangat membantu dalam membersihkan kantung emosi kita yang tidak kita sadari ada di area tertentu.

Ini cerita Valentine’s day aku yang lalu. Bagaimana dengan Urbanesse? Selamat hari kasih sayang ya! 🙂

BACA JUGA : Bekerja dan Berdampaklah Terhadap Hidup Orang Lain

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu