Urbanwomen – Aku resign dari pekerjaan karena lingkungan yang sangat toxic. Sekitar tahun 2004 aku ikut suami ke Kalimantan Timur sekitar tahun 2014, belum bekerja. Suami bekerja di tambang batu bara, aku mendaftar pekerjaan dan diterima di sebuah rumah sakit sebagai pegawai honorer.
Awalnya aku tidak ambil pusing pada lingkungan kerja yang tidak sehat. Memasuki tahun kedua aku mulai merasa tidak nyaman. Teman saling menjelekkan, bahkan aku pernah di kambinghitamkan. Karena statusku honorerku, aku jadi ketakutan. Jadi, apapun yang dilakukan senior dan teman lainnya aku berusaha menerimanya.
Memasuki tahun ketiga dan keempat aku masih bertahan sambil menunggu kehamilan. Semakin terlihat betapa tidak sehatnya lingkungan pekerjaanku. Sering ada perbedaan antara senior dan junior, beban pekerjaan tidak sebanding, pembagian jadwal kerja antara senior dan junior juga tidak adil. Tahun kelima, rasanya sudah tidak kuat berada di tempat kerja seperti itu, namun banyak hal yang perlu kupertimbangkan sebelum memutuskan resign. Aku bertahan karena perekonomian keluarga belum stabil, dan aku belum punyai anak.
Sampai di tahun keenam, aku hamil. Beberapa kali aku mendapat sindiran, dianggap malas, lebay. Aku berusaha tidak ambil hati. Kami bekerja di fasilitas kesehatan, seharusnya bisa memperlakukan perempuan hamil dengan baik, tapi itu hanya berlaku bagi pasien. Terus-menerus mendapat sindiran ditambah tekanan pekerjaan yang cukup besar, keinginanku untuk resign bertambah kuat. Kepala ruangan sempat menahanku. Setelah anakku lahir aku masuk kerja kembali, tapi hanya bertahan dua hari. Stres sekali waktu itu, sampai ASI-ku tidak lancar. Tepat habis masa kontrak, aku mengajukan resign dan sudah pasrah jika kembali ke Jawa aku tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak melanjutkan karir lagi.
Baca Juga: Bukan Tanpa Alasan Tinggal di Lingkungan yang Tenang Memang Idaman
Tiap kali mengalami hal yang tidak mudah, suamikulah yang menjadi support system bersama beberapa teman dekat di kantor. Beruntung aku memiliki suami yang sangat baik, pengertian, dan selalu mendukungku. Aku dan suami saling mencari solusi dari setiap masalah yang kami hadapi. Setelah resign, aku sempat menenangkan diri untuk memulihkan kondisi. Hampir setahun aku tidak bekerja kembali. Kini aku berhasil keluar dari jeratan lingkungan kerja yang toxic dan sudah mendapat pekerjaan baru.
Sebelum resign pertimbangkan hal-hal penting, seperti keuangan dan kesehatan mental. Jika kita sudah mencoba mengatasi beberapa masalah di lingkungan kerja toxic namun tidak ada perubahan dan kita siap untuk resign, tak ada salahnya mewujudkannya. Jangan sampai masalah lingkungan kerja mempengaruhi kehidupanmu.
Sumber: Aku Dira, 31 tahun, karyawan swasta, di Jakarta