Membaca Kehidupan Bersama, Sepanjang Masa

Membaca Kehidupan Bersama, Sepanjang Masa

Inspirasi Hati

Ketika ditanya soal indikator penilaian yang dilihat ketika hendak mencari pasangan mungkin banyak perempuan memberi jawaban mapan secara finansial. Jawaban yang benar dan sangat realistis. Tapi aku pernah berpikir, apakah jika menikah dengan seseorang yang sebenarnya tidak kita cintai tetapi mapan secara finansial kita bisa merasa bahagia? 

Tumbuh dan besar dari keluarga biasa saja aku bukan perempuan yang hidup bergelimang harta. Tetapi bisa kukatakan, aku dibesarkan dengan penuh cinta oleh kedua orangtua. Aku rasa itulah mengapa aku tidak merasa ‘kosong’ meski melajang sampai usia 28 tahun. Ya, aku sendiri terkadang juga heran mengapa aku bisa betah sendirian selama ini. Entah aku yang terlalu pemilih atau bagaimana, tapi yang jelas aku merasa belum ada laki-laki yang bisa membuatku benar-benar jatuh cinta. 

Aku asyik belajar hingga menyelesaikan pendidikan S2 di salah satu universitas negeri. Aku menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis, bekerja sebagai penerjemah lepas. Aku aktif berkegiatan di sebuah komunitas pegiat literasi, berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang yang punya minat sama denganku. Ya, aku memang menaruh minat besar pada dunia penulisan. Tetapi selain itu aku juga kerap kali melakukan solo traveling. 

Hingga pada sebuah solo trip di Austria aku bertemu seorang lelaki yang kemudian mengubah hidupku selamanya, Teza. Kami bertemu di salah satu perpustakaan terbesar dunia yang merupakan salah satu destinasiku di Austria. Dia laki-laki Indonesia yang berdomisili di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan tax consultant. Laki-laki berwajah teduh, bertutur lembut, baik hati dan cerdas yang membuatku merasakan jatuh cinta setelah 28 tahun. Dia ternyata berada di sana untuk sebuah misi, menjelajah berbagai perpustakaan dan toko buku terbaik di dunia. 

Kami menjalin hubungan dan menjalani misi itu bersama. Aku benar-benar bahagia menemukan Teza. Kami membukukan pengalaman kami di Austria, dan menikah pada tahun 2013. Setelahnya kami membuka sebuah toko buku. Meski Teza mampu mendanai seluruh modal usaha aku bersikeras ingin turut bagian 50% walau harus menguras tabunganku cukup banyak. Bagiku, ini juga salah satu mimpi besar yang harus diwujudkan dengan usaha bukan pemberian suami semata. Suamiku pun memahaminya. 

Karena kami berdua memilih tetap bekerja, toko buku itu hanya buka di akhir pekan saja. Misi kami menjadikan tempat itu sebagai rumah yang hangat bagi siapa saja, rasanya perlahan terwujud. Toko buku kami tak pernah sepi. Acara yang rutin kami buat juga selalu ramai. Toko buku yang awalnya hanya 1 petak ruko kini berkembang menjadi 4 petak ruko. Kami sangat bahagia. Kami juga membangun penerbitan independen bernama sama dengan toko buku. Kami juga sudah menerbitkan buku kedua kami yang direspon baik oleh kerabat. 

Sebagai pasangan suami istri kami pernah ditanya oleh beberapa teman terdekat mengenai rencana punya momongan. Ya, mungkin jawaban kami sedikit mengejutkan tapi aku menjelaskan bahwa aku dan suami sudah sepakat untuk tidak memiliki anak. Kami sepakat untuk menggunakan uang kami untuk membiayai pendidikan anak-anak di panti asuhan. Kami merasa banyak anak-anak kurang beruntung yang perlu diperhatikan. 

Jujur, aku tidak pernah benar-benar mencari orang seperti suamiku. Tapi semesta membawanya kepadaku. Laki-laki yang di mataku nyaris sempurna; cerdas, punya dunia yang sama denganku, aman secara finansial, tampan, sangat perhatian, dan dewasa. Bahkan, aku berpikir walaupun suatu saat kondisi ekonomi kami tak sebaik ini, aku rasanya akan tetap bahagia karena kami tetap bisa hidup dengan mimpi-mimpi kami bersama lantas berusaha mewujudkannya. Uang tidak akan pernah bisa menukar pribadi seperti Teza suamiku. (*)

 

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu