Urbanwomen – Aku Gita, 38 tahun tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Pertama kali aku membeli rumah setelah 6 bulan menikah. Sebelumnya, aku, ayah dan ibu tinggal di rumah pemberian nenek. Walaupun masih keluarga, rasanya tetap saja tidak nyaman apalagi ada saudara yang membicarakan kami. Alhasil, ketika menikah aku selalu bilang ke suami jika ingin memiliki rumah sendiri.
Mertuaku meminjamkan rumah miliknya yang sudah lama tidak ditempati. Tetap saja itu bukanlah rumah kami. Sampai suatu ketika ada temanku yang bercerita tentang proses KPR rumah. Di mana dia gagal mengambil KPR karena limitnya belum disetujui oleh bank. Lalu, aku menanyakan tentang rumah tersebut seperti apa kondisi dan lingkungannya. Ternyata rumah tersebut berbentuk cluster sehingga langsung bisa ditempati.
Setelah kunjungan pertama, aku langsung DP rumah tersebut. Alasannya, karena aku ingin memiliki rumah yang sudah jadi, menghindari hal yang tidak diinginkan seperti tertipu developer. Setelah menjelaskan semua alasanku, suami akhirnya mengerti. Kami ambil proses KPR, namun banyak kendala dan uang ekstra yang harus dikeluarkan. Ketika itu harga rumah kami 550 juta yang masuk dengan plafon budget kami. Lalu, DP yang harus dikeluarkan sebesar 10%. Tak lupa harus membayar proses administrasi KPR dan notaris ketika itu, sekitar 18 juta.
Untuk bisa DP rumah saja, kami perlu mengeluarkan uang setara dengan gaji 6 bulan. Waktu itu kami menutupi biaya dengan berhutang ke bank terlebih dahulu. Kami mencari penghasilan tambahan seperti menjadi reseller untuk melunasi hutang-hutang. Mengambil rumah ketika menikah jauh lebih berat. Bahkan aku sempat menyesal kenapa tidak mengambil rumah ketika aku masih single.
Dari pengalaman kami, ada beberapa tips yang bisa dilakukan sebelum memutuskan mengambil rumah. Seperti, memastikan terlebih dahulu bahwa kebutuhan sandang, pangan, papan sudah cukup. Lalu, untuk transportasi kami memilih untuk naik transportasi umum seperti busway atau KRL ketimbang mengambil kredit mobil atau motor. Buatlah terlebih dahulu anggaran bulanan, untuk memastikan bahwa kondisi keuangan bisa mencukupi untuk pembayaran jangka panjang tersebut. Periksa reputasi developer yang akan dipilih, cara mengukurnya bisa dengan melihat kelengkapan developer tentang izin peruntukan tanah, prasarana yang tersedia, SHGB (sertifikat hak guna bangunan) induk atas nama developer dan IMB induk.
Baca Juga: Orang Tua Tak Banyak Menuntut, Aku Justru Semakin Bekerja Keras
Jika sudah yakin, bisa membayar booking fee, pastikan bahwa kita sudah mendapatkan kesepakatan tertulis terkait pemesanan rumah. Termasuk garansi booking fee yang bisa diambil kembali bila proses pengajuan KPR ditolak bank. Dulu, aku juga menentukan tipe rumah yang tepat dengan suami untuk menentukan seberapa budget yang dibutuhkan untuk membeli rumah pertama. Kini rumah kami masih membutuhkan cukup banyak biaya renovasi. Tapi aku lega, setidaknya dengan memiliki rumah aku bisa jadikan sebagai warisan untuk anak-anakku kelak. Aku juga akan terbebas dari biaya sewa rumah yang cenderung akan naik setiap tahunnya ketika memiliki rumah.
Wajar memang kita menjadi lebih bersemangat ketika membeli rumah pertama. Tapi jangan sampai membuat kita menjadi tidak bijak dalam mempertimbangkan beberapa hal sebelum membeli rumah. Jangan terburu-buru, survey terlebih dahulu dan lakukanlah perbandingan agar tidak terlalu memberatkan kedepannya.
Sumber: Gita, 38 tahun, nama disamarkan, di Jakarta