Menemukan Kenyamanan dalam Hidup Minimalis

Menemukan Kenyamanan dalam Hidup Minimalis

Kisah Utama

Menjadi destinasi liburan wisatawan lokal maupun mancanegara membuat Bali sering dikaitkan dengan gaya hidup yang cenderung hedonisme. Meski pulau ini menawarkan begitu banyak kesenangan dan kemewahan namun aku memilih tetap berbahagia dengan jalanku sendiri: hidup minimalis. 

Menemukan nilai-nilai paling esensial dalam hidup memang tidak terjadi dalam waktu semalaman, melainkan perjalanan spiritual seumur hidup. Begitupun denganku. Sejak kecil aku cukup kritis. Aku melihat dan memikirkan banyak hal di sekitarku. Tapi sebagai kanak-kanak tentu saja aku tidak dapat mencerna semuanya. Seiring dengan berkembangnya kemampuan mendefinisikan persoalan serta melihatnya dengan sudut pandang yang lebih kompleks aku akhirnya mulai mengambil keputusan-keputusan. 

Di masa SD, sebagai anak kecil aku pernah merasa iri dengan apa yang dimiliki temanku. Namun kenyataannya, ketika orangtuaku memberikan sesuatu yang lebih dari yang kubutuhkan agar aku ‘lebih’ dari temanku, aku justru tidak nyaman. Di situlah Santi kecil mulai berpikir untuk memanfaatkan segala yang ada saja. 

Hal ini berlanjut sampai di bangku SMP dan setiap hari aku melihat tumpukan sampah di perjalanan menuju sekolah. Aku mulai menyadari betapa banyak sampah yang dihasilkan oleh manusia setiap hari. Dari kenyataan yang kulihat aku menjadi takut terjadi banjir. Keinginanku untuk terus memanfaatkan yang ada terasa jadi lebih rasional karena aku tidak mau membuang sesuatu yang akhirnya hanya menjadi sampah dan berpotensi membuat banjir.

Sejak saat itu aku menemukan diriku sendiri. Aku memilih gaya hidup sederhana dengan tidak memiliki barang-barang berlebihan, seperti pakaian, makanan, dan lainnya. Aku bahkan tak ragu membeli baju-baju bekas selama layak pakai untuk mengurangi limbah pakaian. Aku berusaha sebisa mungkin tidak membuang apapun, termasuk energi, untuk hal yang sekiranya tidak terlalu penting. Jika harus memilih antara berkendara dengan mobil/motor, aku lebih senang berjalan kaki. 

Tidak hanya itu, aku berusaha sebisa mungkin memproduksi sendiri apa yang kukonsumsi. Aku menanam buah-buahan yang biasa kumakan di rumah seperti mangga, jeruk nipis, pepaya, jeruk, pisang serta beberapa tanaman lain seperti seledri, mint, kunyit, kayu manis, lada, cabai, dan bunga-bungaan untuk kebutuhan sembahyang.

Gaya hidup seperti ini tentu saja kerap mengundang komentar miring dari beberapa orang termasuk keluarga. “Kamu kayak gembel deh bajunya itu-itu aja,” sering kudengar. Tapi apa itu membuatku malu atau risih? Sama sekali tidak. Aku nyaman dengan kesederhanaan ini. Selain itu, pandangan orang tidak terlalu penting. Semua orang berhak menyukai, atau tidak menyukaiku. Jadi tak masalah jika ada orang yang tidak sepaham, tidak menerima atau tidak menyukaiku. Aku tak perlu berusaha untuk diterima oleh orang lain. 

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu