Mengenali Potensi Perilaku Kasar di Dekat Kita

Mengenali Potensi Perilaku Kasar di Dekat Kita

Kewanitaan

Urbanwomen – Saya tidak punya pengalaman hubungan asmara yang diwarnai perilaku kasar, atau yang istilah populernya abusive. Saya cuma banyak mendengar cerita dan pengalaman orang-orang yang saya kenal, cerita-cerita yang selalu dapat saya ambil hikmahnya bagi diri saya sendiri. Dari perjalanan hidup selama 55 tahun rasanya saya kenyang “membaca” pola hubungan yang diwarnai kekerasan – hubungan pertemanan, relasi di tempat kerja, sampai soal asmara dan rumah tangga, termasuk tentunya sikap orangtua terhadap anak sendiri.

Perilaku abusive adalah perilaku yang tidak timbul dalam sekejap. Perilaku itu tumbuh pelahan-lahan, tanpa disadari. Pun bukan berupa bawaan lahir, melainkan semacam respon atas perlakuan yang diterima semasa kanak-kanak. Perlakuan abusive sudah lama diakui sebagai kelainan kejiwaan dan oleh karenanya patut mendapat treatment klinis dari ahli jiwa. Sayangnya justru di sinilah masalahnya. Banyak orang tidak segera dapat menyadari kelainan pada dirinya, dan lebih banyak lagi orang tidak cepat mengenali kelainan itu pada diri pasangan maupun anggota keluarga lainnya termasuk anak-anak. Padahal, dalam sesi konsultasi psikologis mereka yang punya problem kekerasan, bisa dipastikan si psikolog akan “membongkar” masa lalu penderita dimulai dari pola asuh semasa kanak-kanak. 

Boleh dicatat, yang saya maksudkan sebagai penderita atau pelaku kekerasan itu bukan hanya kaum laki-laki. Perempuan pun bisa, kita kenali dalam bentuk seorang ibu yang kasar pada anak-anaknya, istri yang mudah meremehkan atau menghina suaminya, gadis yang memperbudak pacarnya, atau bahkan karyawati atau atasan di kantor yang gemar merendahkan sesama rekan kerja. Boleh juga dicatat, perilaku itu tidak perlu harus kita lihat secara kasat mata atau kekerasan fisik – verbal abuse  adalah justru bentuk kekerasan paling berbahaya bagi mereka yang menjadi sasaran.

Bagaimana cara kita mengenalinya? 

Sebenarnya mudah, selama kita percaya pada naluri  – bawaan semua makhluk hidup yang amat penting untuk survival atau mempertahankan hidup. Banyak kasus kekerasan dalam hubungan percintaan, atau hubungan apa saja, terjadi karena mengabaikan apa kata naluri. Seorang anak kecil yang diperlakukan kasar oleh orangtuanya memang tidak bisa berbuat apa-apa karena rasa takutnya yang besar, ketakutan yang mengalahkan nalurinya untuk berontak menyelamatkan diri, yang sering dipendamnya terus sampai akhirnya bisa membentuknya jadi pribadi yang gampang di-bully, atau bisa menjelma dalam bentuk “balas dendam” tapi ditujukan pada orang lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Pribadi yang tidak tumbuh dalam kebiasaan kekerasan baik fisik maupun verbal di rumah seharusnya lebih pandai mendengarkan nalurinya ketika sudah beranjak dewasa: Sikap seperti apa yang mengancam keselamatan diri, dan batinnya?

Sayangnya, sekali lagi, naluri itu diabaikan. Rasa takut ditinggal teman, takut ditinggal pacar, takut tidak dibutuhkan, takut tidak dicintai, takut menghadapi masa depan tanpa suami (atau istri), juga malu jika masalah kekerasan itu sampai terdengar orang lain, menutup jalan bagi naluri untuk mengingatkan soal bahaya. Banyak perempuan merasa senang, bahkan bangga, kalau pacar atau suaminya cemburu, karena dia merasa dicintai, dibutuhkan, dianggap penting. Cemburu itu wajar, tapi cemburu yang berlebihan tentu tidak baik. Banyak remaja senang diikutkan dalam lingkaran pertemanan eksklusif, misalnya, tanpa menyadari bahwa kehadirannya dalam kelompok itu justru untuk dimanfaatkan habis-habisan. Sudah terlalu sering kita dengar atau baca kasus-kasus perundungan atau bullying di kalangan lingkaran pertemanan remaja berujung kejadian-kejadian yang bikin miris hati ini.

Banyak rasa atau bahkan emosi sesaat kita harapkan bisa manis selamanya dan oleh karenanya gampang juga disalahpahami. Cinta, misalnya, atau kasih sayang, adalah yang paling sering kita salahpahami. Rasa suka sering cepat-cepat sekali ditafsirkan sebagai cinta, atau rasa membutuhkan, apalagi rasa memiliki. Ibu yang cemburu dan bersikap tidak baik pada menantu perempuannya karena merasa anak laki-lakinya direnggut dari dekapannya? Bisa. Pemuda (atau pemudi) yang menganggap pasangannya sebagai “milik” yang sepantasnya dikekang saja? Bisa. Demikian pula sebaliknya, pemudi (atau pemuda) yang merasa sudah seharusnya dia mengabdi dan menghamba pada teman-teman kelompoknya atau pasangan asmaranya. Semuanya hanya karena salah memahami apa itu “suka”, “kasih sayang”, atau apalagi “cinta”.

Manusia dilahirkan merdeka. Hak asasi manusia bahkan dijamin dan dilindungi oleh negara, sampai pada urusan orangtua dan anak. Hubungan apapun antar sesama manusia tidak selayaknya didasarkan pada pengekangan, apalagi pengekangan yang melibatkan tindak kekerasan fisik maupun verbal. Kekerasan fisik dalam relasi antar manusia adalah pelanggaran hak asasi atas tubuh, kekerasan verbal atau verbal abuse adalah penghinaan bagi derajat kemanusiaan.

Itu saja rumus dasarnya untuk mengenali perilaku kekerasan di dekat kita. Mudah, bukan? 

Yang sulit adalah menjalankannya. Mereka yang menjadi sasaran perilaku kekerasan butuh banyak waktu untuk mendengarkan apa kata nalurinya, sering sampai bertahun-tahun, sering sampai seumur hidupnya, sebelum menyadari bahwa hak asasinya sebagai manusia sudah dilanggar. Butuh waktu pula untuk sampai pada kesadaran sudah salah memahami rasa “butuh”, atau “sayang”, atau “cinta”nya. Ketika akhirnya berhasil terlepas dari hubungan yang buruk itu pun mereka tidak berbuat lebih jauh karena sudah capek sekali fisik dan batinnya dalam rangka menyelamatkan diri, sementara si pelaku dibiarkan lepas begitu saja dan akan senantiasa berpotensi mengulang perlakuannya terhadap orang lain.  

Baca Juga: Sulitnya Menyadari Sedang Terjebak dalam Abusive Relationship

Mereka yang cuma melihat atau mendengar kejadian kekerasan di sekitar? Sering kita tidak bisa memutuskan untuk membantu karena alasan-alasan atau hambatan-hambatan seperti rasa tidak enak atau sungkan, kuatir mencampuri urusan orang lain, atau bahkan memang tidak peduli. Saya, sekali lagi tidak pernah punya pengalaman relasi yang diwarnai kekerasan, selalu ingin bisa peduli. Minimal menyarankan untuk cari bantuan – konsultasi psikologi mahal harganya, tapi ada banyak sekali LSM yang bisa membantu secara gratis kalau masalahnya sudah berat. Kalau baru taraf curhat atau mengeluh sekali dua kali, biasanya saya hanya akan mengingatkan. Kalau sampai curhatan dan keluhan itu terjadi berkali-kali, artinya masalah yang sama terjadi berulang-ulang pada si pencurah hati, biasanya juga saya hanya akan bertanya terlebih dulu padanya: Kamu gak kasihan ya sama diri kamu sendiri, mau-maunya diperlakukan begitu terus, dan demi apa pula? (*)  

Sumber: Tatyana Soebianto

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu