Tema Urban Women bulan ini cukup menohok sekali dan pas banget ini pernah saya alami dulu ketika saya masih berusia 20-an. Saya ingin jujur membagikan pengalaman ini dengan Urban Women agar pembelajaran yang saya dapat hingga saat ini semoga dapat menginspirasi.
Saya itu memang orangnya mudah akrab dengan siapa saja, bahkan teman dekat saya pernah mengatakan bahwa setiap cowok yang kenal saya, bisa dengan mudah jadi suka sama saya meski cowok itu sudah punya pacar. Heehee..tapi untungnya saya bukan tipe orang yang meladeni. Karena memang naluri saya senang bergaul dengan banyak tipe orang. Tapi bukan berarti saya gampang juga kecintaan dengan cowok yang menjadi teman-teman saya tersebut.
Jadi awal ceritanya dulu saya pernah di iming-imingi jaln pintas untuk hidup mewah dan mendapatkan uang dnegan cara cepat. Namanya anak ABG di kala itu pingin mengikuti trend dan gaya hidup seperti teman-teman saya di kampung yang memang sellau sukses setelah hidup merantau di luar kota maupun luar negeri. Saya ini anak yang datang dari desa, yang tahunya kalau sudah lulus sekolah yang bekerja bisa menghasilkan uang untuk membahagiakan orangtua dan menaikan taraf hidup di kampung. Jujur ya kehidupan di kota saya daerah Jawa Barat itu bisa di bilang anak mudanya sangat senang mengikuti trend kekota-kotaan, bahkan ketika dari merantau balik lagi ke desanya bisa dengan mudah melupakan bahasa daerahnya dan bicara dengan logat berbahasa Indonesia sekali atau bahkan kebarat-baratan begitupun gaya dan penampilannya. Saling adu maju dan membanding-bandingkan termasuk para orangtuanya juga melakukan hal yang sama mereka saling membanggakan anak-anaknya. Saat itu jujur saya dan keluarga saya pun sempat terbawa juga arus konsumtif dan ikut-ikutan trend seperti teman-teman saya yang merantau di kota besar.
Jadi setelah lulus SMA saya tidak langsung kuliah, padahal saat itu bapak saya menawarkan untuk kuliah tetapi karena sudah tergiur dengan sekeliling saya yang nampak sukses setelah bekerja di kota besar, akhirnya saya pun ikutan bekerja keluar kota sebagai SPG di daerah Bali. Saat itu saya di ajak teman saya yang sudah lebih dulu merantau di sana, saya lihat dia kayanya enak banget hidupnya sekolahnya hanya sampai SMP tapi hidupnya sudah mewah dan telah memiliki rumah. Diapun juga sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Di sini saya bukan mau bercerita tentang teman saya tersebut melainkan tentang diri saya ketika saat itu bekerja di Bali.
Aku di kenalkan dengan pria ini dengan temanku sebut saja namanya Lando, usianya 15 tahun lebih tua di atas saya bisa dibilang pantasnya jadi anak karena saat itu saya terhitung masih remaja yang baru lulus SMA. Lando pernah tinggal lama di Bali tapi ketika bertemu dnegan saya dia baru saja datang lagi setelah lama pulang kampung ke negaranya di Jerman. Lando pria yang saya kenal memang bisa dibilang bergelimang harta, villanya gede banget di Bali saat itu jujur saja aku yang masih remaja sempat terbelalak ada cowok luar yang naksir sama aku dengan menawarkan kemewahan yang dia punyadan pekerjaan yang sudah cukup settle, saat itu pikiranku sudah terbuai dengan khayalan yang terlalu jauh, setidaknya kalau dia menikahi aku, aku bisa menaikan derajat orangtuaku yang hanya petani mendapat menantu orang luar negeri heheee dan dengan bangga menunjukkannya pada teman-temanku di kampung kalau suamiku orang luar negeri. Konyol dan lucu memang kalau aku ingat kembali masa-masa itu kadang kalau aku bandingkan dengan kehidupanku sekarang aku seperti malu sendiri. Heeheee…
BACA JUGA : Kenapa Orang yang Menikah Wajahnya Semakin Mirip?
Awal kenal dengan lando, pembicaraan langsung bahas tentang pernikahan dan kata Lando yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu bilang aku tidak perlu khawatir soal uang. Sontak aku yang saat itu memang sedang butuh mendapatkan materi dan status dengan cepat untuk menaikkan perekonomian keluarga dengan coba menggunakan jalan pintas pun sumringah mendengarnya. Terlepas dari perbedaan latar belakang saya dan Lando dan durasi waktu saya yang hanya mengenal Lando baru 2 minggu, saya coba abaikan, karena di pikiran saya hanya ada satu kalimat, “saya orang desa beruntung yang akan dinikahi pengusaha dari luar negeri’.
Langsung saya hubungin orangtua saya dikampung dan mereka mendukung. Bapak ingin aku membawanya dengan segera ke kampung untuk berkenalan dan menyegerakan pernikahan. Tetapi Lando saat itu dengan beragam alasan tidak mau. Lando mengatakan padaku bahwa ia akan datang bertemu orangtuaku jika aku mau menuruti maunya untuk menikah sirih dulu dengannya. Saat itupun hubunganku dengan Lando sudah berjalan cukup jauh, ya karena pikiranku aku ingin cepat dinikahi Lando. 2 bulan berjalan, aku meminta kepastian hubungan dengan Lando tetapi ia tidak juga memberi tanggapannya dan malah terkesan menghindari obrolan pernikahan. Orangtuaku di kampung jadi sering menelponku menanyakan keadaanku dan perkembangan hubungan dengan Lando.
Saat bapak sering menelpon itulah pikiranku lebih terbuka, tenang dan bijaksana untuk memikirkan ulang rencanaku untuk terus melanjutkan hubungan dengan Lando. Aku pikir hubungan ini tidak baik di lanjutkan, Lando tidak lebih hanya menganggap aku hiburan sesaatnya saja. Kebetulan juga aku memiliki seorang teman perempuan di kos-an saat di Bali, namanya Mita yang pikirannya cukup dewasa dan dia memberiku pencerahan, bahwa aku masih terlalu muda untuk menikah, aku bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dan bertanggung jawab pada diri dan keluargaku. Mita juga yang membuka pikiranku tentang bagaimana perilaku pria luar yang memang lebih senang menjalin hubungan tanpa komitmen dan jika memang mereka klop biasanya bisa langsung diajak menikah. Disitulah aku makin berpikir dan mantap untuk menyudahi hubungan dengan Lando.
Sedih pasti, kecewa sepertinya memang dari masih sekolah aku pacaran memang berujung kecewa terus. Tapi dari situlah aku bertumbuh menjadi pribadi yang lebih cerdik dalam memilih pasangan hidup. Namanya pasangan atau teman hidup berrati ia yang akan bersama-sama aku melewati beragam masalah pastinya. Bagaimana jadinya kalau ketika aku memilih pasangan hidup dengan menmaki cara-cara cepat atau jalan pintas agar bisa dinikahi. Aku sadar pada saat itu aku tergiur kemewahan karena terobsesi ingin punya suami orang berada (orang kaya) segala cara cepat aku tempuh yang hasilnya nggak akan baik pastinya buat kehidupan pernikahanku kedepannya. Karena sudah diawali dengan cara-cara tidak baik. 2 tahun aku menyembuhkan diriku dari perasaan kecewa dan tidak percaya diri karena memang saat aku menjalin hubungan dnegan Lando di Bali aku sudah memberikan segalanya pada Lando. Tapi aku bisa bangkit karena pada saat aku resigne sebagai SPG di Bali aku kembali ke rumah orangtuaku. Dan dsitulah aku memulai lagi dari nol, aku mencoba bangkit dengan harapan bahwa aku masih bisa membuat Bapak dan Ibu bangga dengan caraku yaitu melanjutkan kuliah, sambil kuliah aku bergabung dengan komunitas-komunitas kemahasiswaan. Dan benar kata Mita temanku bahwa healing terbaik dari perasaan kecewa atau patah hati adalah dengan sering bertemu orang-orang baru(denagn berkomunitas), menyalurkan energi positif bersama komunitas mahasiswa pecinta seni rupa dan ikut kegiatan bakti sosial yang rutin di adakan di kampusku. Semua berubah aku lulus kuliah dan bekerja di salah Bank Swasta simpan pinjam di kota asalku dan kini aku juga sudah menikah. Cerita ini ada ceritaku saat masih remaja.
Pembelajaran yang aku dapatkan dari pengalaman ini adalah :
- Saya kini jadi lebih tahu bahwa lebih baik menggunakan cara-cara baik dan jujur terhadap hal apapun untuk mengawali suatu komitmen apalagi ini kaitannya dengan mencari pasangan hidup. Nggak bisa dengan cara-cara cepat karena yang namanya pasangan hidup ya bukan buat sesaat tetapi untukk seumur hidup.
- Sejak kejadian itu, saya dan keluarga (bapak dan Ibu) jadi lebih menghargai proses. Walau lama berjalan sampai saya akhirnya bisa bekerja dan menikah tetapi hasilnya akan lebih memuaskan untuk diri saya, mendapatkan uang dari keringat dan usaha sendiri.
- Standar kebahagiaanku kini bukan lagi dalam bentuk materi, karena materi bisa dicari tetapi kebahagiaanku adalah bisa mengetahui dan mengenal diriku sendiri apa yang aku butuhkan dan tidak.
- Memfilter lingkungan sekitar yang tidak membawa pengaruh positif. Thank you Mita Sahabatku di Bali. Karena dialah kini aku menjadi seseorang yang bisa berpikir lebih logis dan positif. Positive vibes, positif life hasilnya pun akan berbuah positif.
Itulah ceritaku, semoga sedikit memberi pencerahan untuk Urbanesse ya.