UrbanWomen – Aku Dewi, 27 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Menikah dengan orang yang berbeda suku tidaklah mudah. Begitu banyak perbedaan yang melatih kesabaranku sebagai seorang istri. Aku berasal dari Sunda, sedang suami dari Jawa. Keduanya memang memiliki sejarah kelam yang masih dipercaya oleh masyarakat jika kedua menikah, maka pernikahannya tidak akan langgeng. Mertuaku termasuk salah satu orang yang percaya hal ini. Meskipun pada akhirnya dia tetap merestui hubungan kami.
Usai menikah, aku tinggal bersama mertuaku sambil mengumpulkan uang bersama suami untuk mencari kontrakan. Ketika tinggal bersama mertua, tak jarang mertua sering menanyakan tentang keluargaku. Apakah ada keluargaku yang nikah cerai atau tidak. Karena menurutnya, orang Sunda memiliki kebiasaan nikah cerai, pemalas, matre dan boros.
Aku sempat kaget saat ditanyakan hal itu. Padahal, keluargaku tidak pernah mengatakan hal-hal kurang menyenangkan pada pihak keluarga suami. Ibu mertua juga sempat menyindir ketika aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Mulai mengait-ngaitkan orang Sunda yang menurut kepercayaannya orang malas dan hanya bergantung pada suami. Dia membanding-bandingkan diriku dengan dirinya dulu ketika merintis karir. Padahal, aku resign atas dasar keputusan bersama dengan suami.
Selama berbulan-bulan, aku hanya bisa bersabar mendengar hal itu. Tak hanya orang tua, dari orang sekitar juga ada yang berkomentar kalau menikah dengan orang Jawa pasti pemalas, dan sebagainya. Tapi, aku belajar untuk tidak terlalu memperdulikan hal itu. Saat kami tinggal bersama, aku mulai mempelajari budayanya. Mulai dari komunikasi, etika, sampai kebiasaan sehari-hari.
Komunikasi menjadi tantangan dalam pernikahan kami yang berbeda suku. Sedikit demi sedikit akhirnya aku mempelajari bahasa Jawa. Aku mulai melatih diri, sehingga ketika ada saudara suamiku berkunjung ke rumah perlahan aku berbicara bahasa Jawa. Ini membutuhkan proses yang sangat panjang. Mertuaku yang merupakan orang Jawa juga tidak begitu suka jika melihat aku make up terlalu tebal. Aku ikut mengimbanginya, tidak terlalu tebal menggunakan makeup sehingga terlihat biasa saja.
Tak hanya aku, suami juga sama berkorban. Dia juga mulai belajar bahasa Sunda, sehingga ketika berkunjung ke keluargaku sedikit demi sedikit dia menjadi lebih paham. Komunikasi menjadi salah satu tantangan untuk mengimbangi dua keluarga. Kami saling berjuang untuk tidak membuktikan pada keluarga dan orang sekitar, bahwa langgeng atau tidaknya sebuah pernikahan bukan berdasarkan suku, tapi lebih pada kepribadian masing-masing seperti apa.
Ibu yang awalnya juga percaya mitos bahwa perempuan Sunda tidak pandai mengontrol keuangan, dan tak pandai memasak juga aku patahkan dengan langsung membuktikannya melalui keseharian. Karena aku tidak suka berdebat dengannya dan aku sangat menghormati dia sebagai orang tua suamiku.
Baca Juga: Punya Banyak Perbedaan Bisa Gak ya Langgeng? Yuk Coba Tips Menyikapi Perbedaan dalam Hubungan Ini
Karena setiap hari melihat apa yang aku lakukan, ibu mertua semakin berubah sedikit demi sedikit. Dia tidak lagi khawatir tentang apa yang dia pikirkan mengenai orang Sunda. Dia mulai menjadi bijaksana, tidak pernah menyindir aku bahkan meminta maaf padaku. Aku juga bisa diterima oleh keluarganya yang lain. Kini rumah tangga kami menjadi lebih berwarna, bisa saling mempelajari adat istiadat satu sama lain.
Menikah beda suku bukan suatu masalah atau hal yang perlu dikhawatirkan, asal keduanya sudah bisa menerima perbedaan satu sama lain. Mitos yang berkembang dimasyarakat bisa dipatahkan dengan pembuktian dan saling menghormati satu sama lain.
Sumber: Dewi, 27 tahun, nama disamarkan, di Jakarta