Sebagai seorang manusia aku sadar betul bahwa kematangan serta kebijaksanaan adalah sesuatu yang dipelajari dan dipupuk dengan rendah hati. Dan di saat perlahan-lahan mulai menemukan jati diri aku tak lagi merasa butuh membuktikan atau menjelaskan apapun pilihanku pada orang lain yang begitu mudah menghakimi tanpa melihat lebih dalam.
Hal ini termasuk ketika aku memilih menjadi seorang vegan, tiga tahun lalu saat usiaku 25 tahun. Keputusan itu tentunya banyak dipertanyakan oleh orang-orang sekitarku. Namun memang tak banyak yang tahu betul alasanku secara mendalam dan karena itu beberapa orang dengan mudah melontarkan pernyataan, “Ah, paling gaya-gayaan aja. Biar keliatan keren.”
Keputusanku menjadi vegan tentu bukan untuk itu. Aku memiliki gangguan hormonal yang membuat siklus menstruasiku sangat buruk. Terkadang menstruasiku terjadi 2-3 bulan sekali. Dan kurasa itu cukup mempengaruhi kestabilan emosiku. Fakta ini kudapatkan setelah aku berkonsultasi dengan dokter. Namun setelah mengkonsumsi obat-obatan dan masalahku tak juga terselesaikan aku mencoba menjadi vegan setelah mencari tahu melalui literatur ilmiah di Internet.
Awalnya memang terasa berat. Aku suka sekali pasta yang dimasak dengan berbagai variasinya. Tapi semesta seolah membawaku melihat keputusanku lebih jauh, bukan sekadar soal diriku sendiri. Setelah aku banyak menonton film dokumenter tentang peternakan, industri pengolahan daging, fakta-fakta tentang hewan dan dunia, hatiku menjadi sangat mantap dengan keputusan yang kuambil. Terlebih aku juga sangat menyayangi binatang.
Lalu timbul kembali pertanyaan dengan nada tendensius “Jadi tumbuhan tidak perlu disayang dan tidak masalah untuk dimakan?”
Terkadang aku menjawab pertanyaan seperti itu hanya dengan tersenyum dan mengarahkannya untuk mencoba membaca lebih lanjut mengenai dampak industri pengolahan daging dan peternakan terhadap lingkungan. Dari pengetahuanku, mengonsumsi tumbuhan tidak memberi dampak sebesar kita mengkonsumsi daging. Aku sadar betul, sedetail apapun jawaban yang kuberikan tidak bakal memuaskan orang-orang seperti itu. Aku pun kerap berdiskusi dengan teman terdekat yang memang dengan rendah hati ingin mengetahui bukan menyudutkan.
Sekali lagi, ini semua tentang pandangan juga pilihanku secara personal. Aku menjalaninya dengan penuh kesadaran, tanpa merasa lebih baik dari siapapun, tanpa ingin menyerang siapapun yang berseberangan denganku. Ya, menjadi vegan juga membuatku kini menjadi lebih mindful. Aku merasa bisa memandang dunia ini secara komprehensif, bukan hanya dari kacamataku saja. Semua orang berbeda, dan dengan perbedaan itu kita tidak perlu mencari siapa yang salah atau benar. Aku pun tidak pernah menyalahkan orang-orang yang masih mengonsumsi daging berikut olahannya. Semua adalah pilihan.
Vegan bukan sebatas gaya hidup bagiku, melainkan memberikan manfaat jauh dari itu. Aku sadar menjadi vegan tidak membuatku bisa menyelamatkan dunia, tidak menyakiti apapun. Tapi setidaknya aku bisa mengurangi dampak gaya hidup yang kujalani pada diri sendiri juga lingkungan.
Alam semesta sudah banyak sekali memberi, maka dari itu aku hanya berusaha berterima kasih dengan melakukan upaya-upaya ‘menyayangi’ yang kubisa. Ya, yang aku bisa. Karena aku juga manusia biasa yang punya banyak keterbatasan.