Menyembuhkan Luka Bersama Ibu Saya

Menyembuhkan Luka Bersama Ibu Saya

Inspirasi Hati

Urbanwomen – Dulu di masa muda saya relasi saya dengan ibu saya tidak mulus. Sejak kecil saya merasa sangat membencinya. Setiap hari ada saja hal yang menurut ibu saya terjadi karena kesalahan saya. Kekerasan sudah menjadi hal biasa yang saya hadapi.

Ibu saya keras dalam mendidik anak-anaknya. Termasuk secara fisik. Tempat saya mengadu adalah ayah saya. Perlakuan kasar pada kakak-kakak saya berhenti ketika mereka SMP, tapi tidak pada saya. Ketika saya sudah berumur 27 tahun dan seminggu sebelum menikah, saya kembali diperlakukan kasar, karena ibu saya menganggap saya sudah membantah kata-katanya. Ayah saya tidak bisa berbuat apapun karena ketika itu beliau sudah lumpuh dan tidak bisa bicara normal. Ayah saya tidak bisa berbicara, atau berteriak, untuk memohon pada istrinya agar berhenti memperlakukan saya secara kasar. 

Saya sakit hati sekali. Ingin rasanya melawan, ingin memukul balik, ingin berteriak, tapi saya takut. Jadi, sebagai pelampiasan kemarahan, saya melempar-lemparkan barang di kamar. Itu hanya membuat ibu saya tambah marah dan masuk ke kamar untuk mengulangi perlakuannya. Saya cuma bisa melindungi kepala saya. 

Tiga bulan setelah saya menikah ayah saya meninggal. Hubungan saya dengan ibu saya menjadi bertambah tegang. Saya memutuskan keluar dari rumah bersama suami. Kami menyewa kamar kos. Saya sudah tidak sanggup hidup di neraka bersama ibu saya sendiri. Ibu saya sangat marah waktu itu, mengirimkan SMS yang berisi kutukan. Saya membalasnya dengan kata-kata yang teramat kasar untuk saya ucapkan pada ibu saya sendiri.  Rentetan SMS dari ibu saya bikin saya stres. Saya sampai ingin bunuh diri. Suami saya sampai minta tolong ibunya untuk datang dari Bandung demi menghentikan keinginan saya itu.

Setahun lamanya saya putus kontak dengan ibu dan kakak-kakak saya. Saya merasa kakak-kakak saya membela ibu saya, dan itu tidak adil. Nomor-nomor telepon ibu dan kakak-kakak pun saya blokir. Tapi suami saya menyarankan agar saya menghubungi ibu saya. Saya menolak. Saya pikir saya tidak pantas disakiti. Saya tidak pernah minta dilahirkan, saya tidak pantas dipukuli untuk hal-hal kecil yang seharusnya bisa dibicarakan. Suami saya pun menyerah. 

Tahun 2014, saya harus dinas ke Filipina mengurus suatu acara live yang melibatkan anak-anak kecil. Pada hari-H saya tersenyum-senyum sendiri melihat banyak anak kecil yang diantar ibunya menonton. Mendadak saya teringat ibu saya yang sering mengantarkan saya les menari di Taman Ismail Marzuki, mengantar dan menunggui saya di sekolah. Saya juga ingat, dulu ibu saya sering mengajak saya naik Bajaj. Banyak kenangan indah bersamanya. 

Saya pun menangis, kangen ibu saya.

“Saya kangen Mama.”

Tapi saya masih sangat egois. Saya tidak mau menghubunginya.

Sepulang ke Jakarta, esok harinya saya buka nomor ibu dan kakak yang sudah saya blokir. Ketika saya minum kopi sendirian masuk sebuah pesan singkat. Dari kakak perempuan saya. “Mama sakit. Mau jenguk gak?” Saya diam sebentar dan berpikir cukup lama. Sampai akhirnya saya paham sesuatu. Ibu saya manusia biasa yang punya emosi. Saya bertanya pada diri sendiri apa sebabnya ibu saya sampai keras sekali pada saya. Kenapa ibu saya sering menjadi monster yang saya benci? 

Ibu saya sendiri sesungguhnya adalah korban. Semenjak ditinggalkan oleh orangtuanya yang bercerai ibu saya tinggal bersama kakek dan neneknya. Mereka mendidiknya dengan keras. Ibu saya harus menjalani masa kecilnya sambil melindungi adik-adiknya. Seorang adiknya meninggal karena sakitnya terlambat diobati oleh orangtuanya. Ibu saya melindungi adiknya yang masih ada saat adiknya diolok-olok oleh temannya karena tidak punya ibu. 

Saya tahu kisah itu dari seorang tante, adik ibu saya, setelah saya bersikeras cari tahu asal muasal sikap ibu saya pada anak-anaknya. Ibu saya sudah hidup dengan trauma masa kecilnya dan tidak mampu menyembuhkan lukanya. Saya pun menangis sesenggukan. Saya bertekad memutuskan rantai ini. Kalau saya tetap egois cerita itu akan terulang kembali dan  mungkin saya akan melakukan hal yang sama pada anak saya nantinya. 

Saya pun mengikhlaskan dan memaafkan ibu saya. Keesokan harinya saya datang ke rumah ibu saya. Sampai depan pagar hati  terasa sangat berat. Tapi saya harus ikhlas. Saya masuk ke kamar ibu saya, melihatnya terbaring di tempat tidur, duduk di samping tempat tidurnya, dan  bilang “Ma…, maafin aku.” Saya dipeluknya. Ibu saya minta maaf atas semua perlakuannya terhadap saya. 

Cara saya menerima masa lalu dan memaafkan mungkin tidak mudah bagi orang lain. Tapi saya bahagia. Ibu saya masih bawel tapi tidak lagi kasar. Sekarang kami tinggal bersama-sama. Ibu saya sudah 67 tahun. Kakak saya menawarkan agar ibu saya tinggal bersamanya tapi ibu saya mau bersama saya saja. Yah, kalau ibu saya marah atau ngambek wajarlah, namanya juga orang yang semakin tua, kadang kembali seperti menjadi anak kecil lagi, kan? Kalau ibu saya marah paling-paling saya membantunya untuk menenangkan diri dan bergurau. Bahkan, saya sering minta bantuannya untuk mengawasi anak-anak saya.  

Sampai sekarang hubungan kami baik-baik saja. (Sumber IG: @hujandisenja.naj)

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu