UrbanWomen – Aku Meyna, 26 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Sebelumnya, aku pernah berhubungan dengan seorang pria 2 tahun lamanya. Alasanku bersikeras ingin mengakhiri hubungan ini, karena aku sudah muak sekali dengan perilakunya yang kasar. Kami dikenalkan oleh teman kampusku. Awal perkenalan, aku belum begitu tertarik, karena aku tipe orang yang sebetulnya susah sekali merasa cocok dengan seseorang jika tidak mengenalnya dalam waktu yang cukup lama.
Tapi, aku menghargai temanku yang sudah memperkenalkan aku dengan pria tersebut. Dia mengajak aku untuk makan dan jalan-jalan. Dia seseorang yang asik dan ramah. Berjalan selama 3 bulan masa perkenalan, aku merasa cocok dengannya. Kulihat, dia juga sangat ramah ke semua orang. Meskipun aku belum pernah dikenalkan langsung ke keluarganya.
Dia sempat bercerita, ketika kecil dia sering dibentak oleh ayahnya jika melakukan kesalahan. Ini membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang mudah marah dan kasar. Sampai suatu ketika aku datang ke rumahnya, namun aku sempat terkejut karena dia memperlakukan kedua orangtuanya cukup kasar. Memang tidak memukul, tapi sering membentak sampai membanting barang. Aku pikir, wajar sekali pacarku marah karena kedua orangtuanya juga salah. Pacarku juga sering menyalahkan kedua orangtuanya.
Sebetulnya sudah terlihat jika dia seseorang yang kasar. Dengan kedua orangtuanya saja dia berani melawan hingga membentak bagaimana aku yang hanya pacarnya. Ternyata benar saja, dia juga mulai berani berkata dan berbuat kasar padaku, seperti apa yang dia lakukan kepada orangtuanya. Tiap kami bertengkar, dia pasti membentak. Dia juga sering merendahkanku seperti mengatakan jika aku bodoh seperti hewan. Yang lebih parahnya, dia juga sering membanting barang.
Walaupun tidak memukulku, tapi perlakuan dia yang seperti itu membuatku merasa tidak berharga dan tertekan. Bahkan, aku sempat menjauhi teman-temanku karena merasa stress selama berhubungan dengan dia. Aku cukup kesulitan untuk berterus terang padanya tentang perasaanku. Aku menjadi pribadi yang tertutup. Aku takut dia marah jika aku mengatakan padanya bahwa aku tidak nyaman. Karena tiap dia marah aku merasa sangat ketakutan.
Tibalah di satu titik ketika aku diajak ke rumahnya lagi. Kali ini dia membentak orang tuanya hanya karena di rumah tidak ada makanan sama sekali. Tak tega melihat ibunya diperlakukan seperti itu terus menerus, akhirnya aku memberanikan diri untuk menegurnya. Tetap saja dia keras kepala dan menyalahkan kedua orang tuanya. Jika dia seperti ini, aku tidak bisa menikah dengannya. Pada kedua orangtuanya saja, dia bisa memperlakukan aku seperti itu, bagaimana ke istrinya nanti.
Aku merasa sangat kesal melihat sikapnya yang seperti itu, sampai akhirnya aku bilang padanya untuk putus saja. Dia sangat marah dan tidak bisa mengendalikan emosi hingga sempat memukulku. Ini membuatku semakin yakin untuk segera mengakhiri hubungan. Meskipun dia tidak menerima, tapi aku tetap ingin putus dan menjauh darinya. Dia menerorku melalui media sosial, tapi aku abaikan. Cukup sulit lepas dari hubungan ini, tapi aku sudah kelelahan karena memendam semuanya sendirian.
Baca Juga: Punya Pacar Kasar Sampai Alami Gangguan Mental, Kini Aku Sedang Memulihkan Diri
Sejak itu, aku mulai berani membuka diri lagi, bersosialisasi dengan orang-orang dan melakukan berbagai kegiatan positif. Aku mulai merasa tenang dan berani untuk bercerita pada orang terdekat. Mereka sangat mengapresiasi aku yang telah berani memutuskan orang seperti itu. Perlahan aku sudah terbiasa tanpa dirinya dan tak ingin terburu-buru menemukan pengganti.
Pasangan akan memperlakukanmu seperti bagaimana dia memperlakukan kedua orangtuanya. Carilah pasangan yang pandai mengontrol emosi. Jangan mau ambil risiko untuk ikut terbawa menjadi manusia yang rusak secara sukarela demi mempertahankan hubungan tak sehat.
Sumber: Meyna, 26 tahun, nama disamarkan, di Jakarta