UrbanWomen – Aku Tasya, 28 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Selama 4 tahun pacaran, akhirnya aku memilih pisah dari pacarku karena kami memiliki perbedaan prinsip. Dari awal memang kami sepakat untuk saling mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Kami merasa begitu banyak kesamaan satu sama lain. Entah itu dari hobi, makanan favorit, bahkan kami memiliki selera humor yang sama. Dia bisa menjadi pacar sekaligus sahabat untukku. Begitu banyak kesamaan membuat kami yakin satu sama lain untuk tetap bersama sampai ke pernikahan.
Begitu banyak momen yang kami lalui bersama. Kami sudah saling memahami kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Tapi, mulai timbul keraguan setelah 2 tahun bersama. Selama itu juga kami juga sudah mulai berani mengenalkan keluarga satu sama lain. Bahkan orangtua kami sudah sangat akrab satu sama lain.
Semakin mengetahui kekurangan masing-masing, kami semakin sering bertengkar hanya karena masalah sepele. Dia memiliki kebiasaan yang membuat aku kesal. Seperti sering terlambat tiap kali kami bertemu. Janji datang jam 6, dia baru datang jam 7. Ini sering kali dia lakukan. Sulit sekali disiplin, menjadi salah satu hal yang membuatku kesal padanya. Tapi, aku masih bisa menerima perbedaan ini. Bagiku, ini bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan bisa memberi pengaruh besar pada hubungan kami.
Hingga memasuki tahun ke-4, ketika kami sudah membicarakan tentang pernikahan, mulai timbul beberapa masalah. Sebelum menikah, kami sering membicarakan kehidupan setelah menikah. Seperti mau tinggal di mana, apakah aku harus bekerja setelah menikah atau tidak. Pacarku berasal dari keluarga sederhana. Kedua orangtuanya sudah pensiun, sehingga dialah yang membiayai kebutuhan sehari-hari orangtuanya.
Ketika aku bicara tentang tempat tinggal setelah menikah, aku berprinsip tidak ingin tinggal bersama orangtua karena ingin mandiri dan tidak bergantung sama orangtua. Namun, pacarku lebih setuju jika aku tinggal bersama orangtuanya. Menurutnya, tinggal bersama orangtua bukan berarti kita bergantung sama mereka. Justru, selama ini dia yang menafkahi kedua orangtuanya yang sudah pensiun. Sedangkan aku tidak ingin demikian. Aku tetap berpegang teguh untuk tinggal hanya dengan suamiku saja.
Di sinilah perdebatan terjadi. Pacarku ingin aku bisa merawat mereka jika tinggal bersama. Pacarku menyuruhku untuk berhenti bekerja saja setelah menikah. Padahal, di satu sisi aku mengetahui bahwa gaji yang dia dapatkan tidak seberapa. Dan aku tetap ingin bekerja mengejar karir. Kami terus berdebat tentang ini dan tidak menemukan titik tengah. Yang ada, hanya pertengkaran terus-menerus karena perbedaan prinsip. Setiap kali berdiskusi, berujung saling menyalahkan dan tidak ada yang mau mengalah. Kami kesulitan mencari jalan tengah. Kami merasa paling benar satu sama lain.
Aku sudah berusaha untuk menjadi pendengar yang baik, berusaha mengalah. Namun, dia tetap saja keras kepala ketika aku mengungkapkan pendapat. Semakin terlihat begitu banyak perbedaan antara kami berdua yang sulit untuk diterima satu sama lain. Kami saling sadar, bahwa pernikahan itu berat dan harus bisa menerima perbedaan prinsip satu sama lain. Jika tidak, kita akan kesulitan satu sama lain.
Baca Juga:
Akhirnya kurang lebih dua minggu kami memikirkan tentang ini. Apakah mau dilanjutkan atau tidak. Alhasil, kami sepakat untuk tidak melanjutkan hubungan hingga ke pernikahan. Kami berpisah secara baik-baik dan memilih untuk menjadi teman saja. Meski berat sekali untuk berpisah darinya, tapi ini jauh lebih baik ketimbang kita berpisah ketika menikah karena perbedaan prinsip, tapi terus dipaksakan.
Perbedaan prinsip dalam hubungan itu akan selalu ada. Yang mungkin bisa menjadi pertimbangan lagi, apakah prinsip tersebut masih bisa dia ditoleransi atau tidak. Selama perbedaan prinsip itu tidak merugikan orang lain, tidak masalah. Karena tiap orang punya hak untuk memilih prinsip dalam hidupnya.
Sumber: Tasya, 28 tahun, nama disamarkan, di Jakarta