Urbanwomen – Nama saya Nancy. Saya seorang ibu dengan 2 anak. Saya bekerja sebagai CFO dari sebuah perusahaan swasta. Umur saya saat ini 47 tahun, dan saat ini saya masih single, walau saya sudah memiliki pacar. Nah, mulai bingung ya, kenapa anak sampai 2, single, dan di umur segini baru punya pacar?
Saya berasal dari keluar pekerja kelas menegah. Kita memang tidak mempunyai barang mewah, tapi kita berkecukupan. Salah satu alasannya, mungkin karena bapak saya orangnya santai, dan tidak gengsian. Jadi, mudah merasa cukup. Padahal, kita tinggal di Jakarta. Kebetulan saya anak yang memang cukup perfeksionis. Di sekolah nilai saya bagus, saya sudah mempunyai pacar pertama sebelum lulus kuliah. Setelah lulus kuliah, saya mendapat pekerjaan pertama saya dan langsung dilamar. Ideal ya, dilamar pacar pertama di saat lulus dari universitas. Tadinya, saya percaya dengan fairy tale ini. Saya percaya dengan ke-ideal-an yang didengung-dengungkan oleh orang-orang di sekitar saya. Jadi, walau sebenarnya sudah ada bendera merah dalam hubungan saya dengan pacar saya, saya biarkan saja. Karena cerita dan alurnya sudah sempurna. Belum lagi saya masih perawan, jadi saya hanya akan berhubungan dengan suami saya yang notabenenya bekas pacar pertama saja. Pekerjaan saya pun dulu berawal cukup baik dengan gaji sekitar 5 juta.
Mau tahu bendera-bendera merahnya apa saja? Pacar saya pada saat itu, ketika melamar saya memang tidak bekerja, tapi saya berpikir, keluarganya berasal dari orang berada, jadi pastinya ekonomi tidak akan menjadi masalah. Bendera merah lainnya, sebelum menikah ibu mertuaku tanya gaji aku sebulan dan dia berkata “Kamu usahakan mendapat gaji yang lebih besar, ya, kalau tidak, bagaimana mau menghidupi anak saya?” Saya tidak mendengarkan secara seksama, karena saya sudah fokus dengan kata menikah. Bendera merah ketiga, yaitu tinggal di rumah mertua, karena pada saat itu calon suami saya belum atau tidak bekerja.
Setelah menikah, kenyatan satu per satu dibukakan. Suami saya itu bukan belum punya pekerjaan, tetapi memang tidak bekerja, dan tidak punya itikad bekerja. Saya berusaha mendorong dan memotivasi dia, tapi tidak kunjung ada perubahan. Dan layaknya seperti pasangan-pasangan lainnya, kita memiliki anak. Biayapun meningkat, jadi saya harus benar-benar fokus pada karir saya, karena saya yang mebiayai seluruh keluarga. Sedangkan aktivitas sehari-hari suami saya kalau tidak tidur, nonton, ya main game. Ibu mertua berkali-kali mengatakan, sebenarnya saya tidak layak buat anaknya, karena saya dari keluarga biasa-biasa saja, dan penghasilan saya biasa-biasa saja. Kata-kata ini cukup menyakitkan, mengingat saya berusaha sebaik mungkin membiayai keluarga, bahkan anak dia sendiri.
Saya selalu kurang. Kurang baik, kurang pintar, kurang kaya, dan penuh kekurangan lainnya di mata suami dan mertua saya. Pernikahan saya sempat menjadi dingin dan saya alihkan emosi-emosi saya untuk memacu karir saya. Makanya, akhirnya saya bisa menduduki jabatan CFO yang saya miliki saat ini.
Di tengah perkawinan yang kurang harmonis, ibu mertua yang tidak suportif, belum lagi tekanan dari pekerjaan saya, saya terkena kanker, dan ternyata setelah dicek sudah mencapai stadium 4. Saya menagis karena saya lelah, stres, dan saya juga tidak siap untuk tekanan dan deraan lain seperti ini. Namun, saya harus kuat demi anak-anak saya. Setelah melakukan banyak pertimbangan, akhirnya saya terbang ke Singapura untuk pengobatan. Ya, saya mengurus semua sendiri, karena suami tidak mau ikut campur. Saya cukup sedih. Tapi tetap saya kerjakan.
Tapi, ternyata dalam perawatan kanker itu, mood saya drop, saya merasa sepi. Kesepian yang mungkin jarang saya rasakan selama ini. Akhirnya, saya menelepon suami saya untuk terbang ke Singapura, menemani saya berobat. Jawaban suami saya, “Kirimakn dulu tiket pesawat dan voucher hotel di Singapura, baru saya akan terbang.” Plak! Muka saya terasa ditampar sekeras-kerasnya. Saya itu jarang sakit, dan jarang mengeluh, bahkan jarang meminta apa-apa atau bantuan dari suami, kecuali butuh sekali. Dan di saat paling gelap dan kelam dalam hidup saya. Tidak ada simpati atau perhatian dari suami saya. Di situ saya sadar, sebenarnya saya sudah lama single, walau masih dalam perkawinan. Kisah cinta remaja kita sudah pupus dan tidak tersisa.
Puji Tuhan, sepertinya saya dapat keajaiban, penyakit kanker saya bisa sembuh! Saya sendiri kaget. Saya kembali ke Jakarta menata hidup saya lagi dan kali ini mempersiapkan perpisahan saya dengan suami saya. Dan setelah semua aman dan anak-anak sudah ada tempat tinggal, saya meminta cerai. Suami saya cukup shock, karena saya selama ini walau kadang cerewet, tapi saya adalah seorang istri yang setia dan bertanggungjawab. Dan pada kesempatan ini juga akhirnya saya bisa menyampaikan perasaan saya kepada ibu mertua saya dengan lapang dada. Walaupun, saya dari keluarga biasa-biasa saja, tidak seperti suami saya dan keluarganya, tapi saya lah yang menafkahi suami saya 20 tahun ini, dan tidak ada seperak pun bantuan dari ibu mertua. Mertua saya pun tertegun. Dan ketika perceraian sudah selesai, Ibu mertua saya akhirnya meminta maaf atas kata-kata dan perbuatannya selama masa pernikahan tersebut.
Sejak saat itu, waktu luang saya pakai untuk membangun diri saya sendiri. Mulai dari olahraga, berdandan, makin fokus kerja, dan tentunya mendidik dan mengurus anak-anak tersayang. Walau suami tidak mau memberi nafkah, tidak apa. Karena saya sudah terlatih dari dulu seperti itu. Setelah kehidupan saya rapi dan teratur, saya flashback, saya sebenarnya kecewa terhadap diri saya yang begitu polos percaya akan cerita-cerita khayal di masyarakat kita. Di mana wanita menikah muda itu baik. Seharusnya, saya harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menikah, bukan hanya karena suka dan “waktunya ideal”. Karena, akhirnya pernikahan saya rusak karena iming-iming kata ”ideal“ tadi.
Baca Juga: 5 Warna Pernikahan yang Diprediksi akan Trend di Tahun 2021
Saya tidak kapok mencintai dan mempunyai hubungan dengan pria. Tapi, saya sadar yang menentukan pernikahan itu bukan umur, materi, ataupun status. Tapi, kesiapan kita dalam memilih calon yang tepat, serta kesiapan kita untuk menjalani biduk pernikahan. Itu yang lebih penting. Sekarang, saya sudah punya pacar, selama 5 tahun terakhir, saya sudah siap untuk naik ke kelas berikutnya. Dan kali ini saya cukup paham siapa pasangan saya dan apakah dia sudah siap menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak-anak saya. Kita berdua sudah tidak di umur yang ideal, tapi siapa tahu akhirnya kita bisa mewujudkan keluarga yang ideal.