Pola Pikir Terbuka Karena Pergaulan Antar Etnis & Agama

Pola Pikir Terbuka Karena Pergaulan Antar Etnis & Agama

Kisah Utama

UrbanwomenSeringkali ketika mendengar kata “pendidikan” orang berpikir tentang sekolah, sementara “pendidikan tinggi” artinya jenjang S1, S2, S3. Dari pengalaman saya pendidikan juga kita dapatkan dengan belajar dari orang lain, ilmunya belum tentu kalah luas dibanding ilmu dari sekolah.

Saya supel. Lahir beretnis Cina tapi teman saya kebanyakan bukan Cina. Sekolah saya di Jakarta Selatan, kebanyakan teman saya dari berbagai suku di Indonesia, beberapa keturunan Arab, dan segelintir Cina. Saya sering pergi ke sana kemari bersama mereka, dan saya belajar perbedaan cara didik di rumah masing-masing, gaya hidup etnis masing-masing, serta kepercayaan yang mereka anut.  Sadar tidak sadar saya juga belajar tentang agama-agama lain.  

Rasanya senang saja karena saya menyukai hal-hal baru dan senang belajar. Saya banyak bertanya dan mengamati kenalan baru. Seru! Dari orang Jawa saya belajar bagaimana bertutur kata halus, dengan etnis Cina saya belajar bagaimana bekerja rajin dan menghasilkan uang dalam berbisnis, dari teman-teman Arab saya belajar gaya hidup. Dari ART saya yang asli Betawi saya belajar sikap-sikap kekeluargaan dalam keluarga yang tidak saya peroleh di keluarga saya. Ternyata cara berinteraksi dengan orang lain dan dalam keluarga itu berbeda-beda, dan karena bisa melihat berbagai macam pola serta membandingkannya saya dapat memilih mana yang terbaik untuk saya ikuti.

Saya juga punya beberapa teman dari Eropa seperti Swedia, Prancis, Estonia, Inggris. Saya berterima kasih sekali bisa mengetahui ada begitu banyak pilihan agama, prinsip, gaya hidup, serta pola pikir. Saya hanya secara fisik Cina tapi pola pikir dan kepercayaan saya  sudah gado-gado, gabungan semua yang saya ketahui dan saya saring yang terbaik.

Mungkin kalau saya hanya berkecimpung di antara orang-orang Cina pandangan saya terhadap orang lain tidak akan sepositif dan senetral sekarang. Cara pandang seperti ini sangat berfaedah, karena selain bisa punya banyak teman, kita juga mudah bertanya ini-itu kepada siapapun. Kedua, saya tidak mudah menghakimi atau menilai orang negatif hanya karena satu dua aksi atau omongannya. Saya biasa berusaha memahami dulu latar belakang orang itu, memikirkan apakah kata-kata dan perlakuannya tepat sesuai konteks. Karena bisa saja yang menghakimi dia yang salah menilai atau kurang luas wawasan. Saya nyaman bertemu orang baru, tidak ada pikiran negatif. 

Dan karena banyak berbincang-bincang tanpa batas maka dengan sendirinya banyak masukan yang saya dapat. Nah, ini yang saya maksudkan sebagai belajar dan menjadi pintar tanpa harus melalui bangku sekolah. Setiap hari ada kesempatan belajar melalui orang yang berbeda-beda. Agama pun menurut saya tidak ada satu pun yang buruk, seringkali yang membuat buruk itu hanya oknum, jadi tidak ada salahnya kita mempelajari agama orang lain. Iman tidak bisa dicuri dan diubah, jadi belajar agama lain pun aman-aman saja, malah menarik dan membuat kita lagi-lagi semakin bijak dalam hidup.

Baca Juga: Tetap Rukun & Bahagia Meski Berbeda

Saya sebenarnya mengecap bangku sekolah cukup tinggi. Tapi yang membuat saya dewasa dalam menghadapi hidup dan orang lain saya rasa adalah edukasi non formal yang saya alami selama ini. Untuk menjadi pintar memang bisa lewat bangku sekolah tapi sebenarnya tanpa itu pun asal kita mau dan terbuka kita pun bisa beranjak dewasa dan matang dari pengalaman pengalaman bersama mereka dengan latar belakang berbeda. Jadi kurangi rasa menghakimi dan rasa negatif terhadap ras, etnis, agama lain, dan mulai mendengar dan meresapi hal-hal positif dari mereka. Kita pasti bertumbuh dari waktu ke waktu, menjadi orang yang berbeda. (*)

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu