Punya-Pacar

Punya Pacar yang Mudah Marah, Kami Belajar untuk Saling Memperbaiki Diri

Kisah Utama

UrbanWomen – Aku Keyla, 28 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Sudah 3 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengan seorang pria yang aku temui melalui aplikasi dating. Setelah mengenalnya dan berpacaran, kami semakin mengenal satu sama lain. Dia adalah anak pertama dari 2 saudara. Dia orang yang tegas namun terkadang keras kepala. Mungkin karena dia sudah terbiasa menjadi pemimpin untuk adik-adiknya.

Sikapnya yang tegas tidak sepenuhnya buruk, karena aku rasa sikap seperti ini perlu dimiliki oleh laki-laki. Namun, yang menjadi permasalahan ketika dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Mudah marah, hanya karena masalah sepele. Memang dia tidak pernah membanting barang, atau memukul, tapi terkadang kata yang dia ucapkan menyakitkan. 

Seperti ketika kami janjian di suatu tempat, namun aku terlambat sekitar 5 menit. Dia marah-marah tanpa bertanya kenapa aku terlambat. Aku berusaha lebih sabar menghadapinya. Semakin mengenalnya, aku semakin paham apa yang membuatnya kesulitan mengendalikan emosi. Ini ada kaitan dengan masa kecilnya. 

Aku sempat ragu, apakah dia bisa dan mau belajar supaya lebih bisa mengendalikan emosi. Bahkan ketika macet di jalan saja, dia bisa marah karena ini. Padahal, hal seperti ini ada di luar kendalinya, tidak bisa dikontrol dan pastikan. Hingga suatu ketika kita bertengkar hebat karena suatu hal, dan dia hampir saja mau memukulku. 

Aku hampir saja minta putus karena masalah itu. Aku khawatir jika terus bersama dia yang seperti itu, dia bisa memukulku suatu saat nanti ketika marah. Ketika sudah saling menenangkan diri, yang aku lakukan adalah dengan evaluasi diri. Memahami, apa yang sering membuat kami bertengkar. Setelah itu, yang aku lakukan adalah membicarakan apa yang ingin aku sampaikan setelah dirinya sudah tenang. Sebelum mengatakannya, aku harus menerima jika hubungan ini akan berakhir jika dia tidak bisa menerima dan tidak mau berubah menjadi lebih baik, seperti apa yang aku katakan.

Demi menyelamatkan hubungan, aku coba bicarakan padanya saat dia sedang bersantai. Aku mengatakan bahwa aku tidak nyaman jika dia mudah marah hanya karena masalah sepele. Dan aku tegaskan jika sikapnya seperti itu terus, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Karena aku khawatir, sikapnya ini bisa berujung pada KDRT. Aku tidak ingin terus bertengkar hanya karena dia tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik. “Kamu kalau nggak berusaha untuk belajar mengendalikan emosi, nanti bisa berdampak pada rumah tangga kamu, apalagi kamu akan menjadi ayah nantinya.” Kataku.

Aku memberikannya waktu untuk memikirkan kembali tentang ini. Yang jelas, aku sudah secara tegas mengatakan batasan yang aku buat. Kami memutuskan untuk tidak berkomunikasi terlebih dahulu untuk saling berpikir. Setelah memikirkan kembali dan membutuhkan waktu yang lama, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan. Dengan catatan, saling memperbaiki diri satu sama lain. 

Baca Juga: Bisa Gak Sih Kekerasan Non-Fisik Dilaporkan ke Pihak Berwajib?

Di awal, dia masih sulit mengendalikan emosi. Tapi aku tidak berhenti untuk menegurnya lagi. Semakin lama, aku perhatikan dia berubah ke arah yang lebih baik dengan sendirinya. Tidak berucap kata kasar lagi tiap marah. Ini adalah bukti bahwa dia memang serius padaku. Karena sama-sama mau berubah ke arah yang lebih baik, aku memutuskan bertahan dengannya. Kini, kami juga sudah membicarakan ke jenjang yang lebih serius dan berencana untuk segera menikah.

Jangan ragu untuk mengatakan hal apa yang membuatmu tidak nyaman ke pasangan. Jika memang dia serius padamu, dia akan bersedia untuk belajar memperbaiki diri, berubah ke arah yang lebih baik dan tidak mementingkan ego diri sendiri.

Sumber: Keyla, 28 tahun, nama disamarkan, di Jakarta

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu