UrbanWomen – Aku Yuyun, 26 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Pengalaman hubunganku yang sebelumnya mengajarkan, bahwa betapa pentingnya memiliki pacar yang bisa diajak berkembang bersama. Dia adalah seorang laki-laki yang selalu merasa insecure. Dia memang sempat bercerita jika dia pernah memilih mengakhiri hubungan karena merasa insecure atas pencapaian mantannya tersebut. Dari kecil, pacarku ini memang sangat dimanja oleh kedua orangtuanya.
Mulai dari memilih jurusan kuliah sampai dengan pekerjaan, semuanya atas campur tangan kedua orang tuanya. Akhirnya, pacarku ini tumbuh menjadi anak yang tidak bisa memilih jalannya sendiri. Berbeda denganku yang memiliki ambisi, dan selalu memiliki target kedepannya mau seperti apa. Bahkan, aku memiliki target selanjutnya mau bekerja di perusahaan mana.
Dia mulai posesif, khawatir aku bertemu dengan seorang pria yang lebih pintar darinya di tempatku bekerja. Pacarku ini juga suka sekali mengeluh tentang lingkungannya. Dia bercerita banyak yang merendahkan performa kerjanya. Dia dibilang tidak bisa apa-apa dan lain sebagainya. Sebetulnya di awal aku sempat berpikir betapa tega lingkungan pekerjaannya yang memperlakukannya seperti itu. Dan aku perhatikan dia sering sekali mendapatkan lingkungan pekerjaan yang seperti itu, toxic.
Tapi, setelah aku menjalani hubungan dengannya beberapa tahun aku semakin mengerti bahwa yang merendahkan dirinya adalah dirinya sendiri. Dia sering bilang jika dirinya tidak punya keahlian apapun. Aku sudah melakukan berbagai cara supaya dia tidak lagi insecure, salah satunya dengan memberikan dukungan meyakinkan bahwa dia memiliki banyak keahlian. Tapi tetap saja tidak bisa.
Kami sering bertengkar, karena dia tak bisa diandalkan. Dia juga selalu membandingkan dirinya dengan diriku yang lebih memiliki banyak pencapaian. Padahal, aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku ingin menumbuhkan motivasi untuknya. Tapi dia malah berpikir sebaliknya. Akhirnya, dia selalu menyalahkan diri sendiri tiap kali tidak bisa melakukan sesuatu.
Aku saat itu merasa bodoh, karena aku tidak ingin dia merasa insecure lagi dengan pencapaianku, aku rela menolak bekerja di sebuah perusahaan yang sudah lama aku impikan. Aku takut, jika aku memiliki karir yang jauh lebih baik dari dirinya, dia akan bertambah insecure. Dengan berat hati, aku menolak tawaran tersebut.
Lalu, aku mengajak dia untuk membuka bisnis minuman bersama. Supaya kita bisa menabung bersama untuk menikah, tapi tetap saja dia selalu merendahkan dirinya. Belum dicoba, tapi dia merasa tidak bisa apa-apa. Sungguh, ini sangat mengganggu. Aku sudah berkorban menolak pekerjaan impian demi dirinya, dan mengajaknya membuka bisnis bersama, tapi dia tetap tidak mau dengan alasan tidak bisa.
Dari sini aku mulai merasa, bahwa dia bisa menghambat diriku untuk berkembang. Tidak ada yang bisa mengatasi rasa insecure-nya itu selain dirinya sendiri. Akupun tidak bisa mengubahnya walaupun sudah banyak berkorban. Yang aku dengarkan, hampir setiap hari hanya keluh kesahnya saja. Ini secara tidak langsung membuat aku tetap berada di masalah yang sama. Karena merasa tidak ada perubahan dalam hubungan kami ke arah yang positif, aku putuskan untuk mengakhiri hubungan darinya.
Baca Juga: Mempertahankan Hubungan Toxic, Pernikahanku Berakhir dengan Perceraian
Aku tidak bisa lagi membantu dirinya untuk berubah, karena dia tidak mau berubah. Setelah lepas darinya, kini aku memiliki karir yang jauh lebih baik. Aku bisa mengembangkan diri sendiri.
Mengubah sifat insecure pada seseorang bukanlah tanggung jawab kita. Sudah selayaknya pasanganmu berubah untuk kebaikannya sendiri. Tidak ada salahnya untuk pergi dari pasangan yang memang tidak bisa diajak untuk bertumbuh dan berkembang bersama.
Sumber: Yuyun, 26 tahun, nama disamarkan, di Jakarta