UrbanWomen – Aku Syifa, 29 tahun, karyawan swasta, di Jawa. Dulu, saat berusia 24 tahun, aku bekerja di salah satu perusahaan swasta. Aku tertarik bergabung di perusahaan tersebut karena tergiur dengan gajinya yang cukup besar. Sebetulnya, lingkungan pekerjaanku sebelumnya begitu positif. Kami saling mendukung, tapi sayangnya gaji yang ditawarkan tidak sebesar perusahaan baru. Akhirnya aku memutuskan untuk resign dan memulai karir di perusahaan yang cukup besar.
Di hari pertama masuk kerja, semua teman-teman di sana menyapaku. Tapi memang mereka tidak terlalu ramah seperti teman-teman di perusahaan lama. Aku bertemu dan berkenalan dengan seorang teman di tempatku bekerja. Di awal pertemuan, dia menanyakan tempat tinggalku dan jurusan kuliahku. Karena aku lulusan dari kampus yang tidak begitu terkenal, dia seperti merendahkanku dan membandingkan dirinya yang lulus dari kampus yang ternama. Dari obrolan ini aku sudah merasa tak nyaman. Sampai akhirnya dia mengkritik pakaian yang aku kenakan. Saat itu aku memakai baju formal, blazer dan rok. Tapi dia menilai bahwa rok yang aku gunakan terlalu ketat, lebih baik pakai celana saja.
Di sini, aku masih menerima dan segera memperbaiki tampilan. Aku rasa ini masukan yang bagus. Setelah beberapa bulan bekerja, aku semakin mengenal seperti apa lingkungan kerjaku. Beberapa saling membicarakan rekan yang lain. Mereka selalu mengajak aku untuk pergi makan atau jalan-jalan setelah pulang dari kantor. Karena merasa tidak enak menolak, aku menerima ajakan mereka. Dari sinilah aku semakin merasa bahwa aku dikelilingi oleh orang yang tidak suportif.
Mereka bertanya apakah aku sudah menikah atau belum. Aku menjawab sejujurnya, bahwa aku sudah menikah dan memiliki anak. Mereka mengatakan “Apa nggak kasian itu anaknya ditinggal kerja, nanti takutnya juga kan suami nggak terurus kalau kamu kerja.” Lalu ada juga yang menganggap bahwa aku tidak peduli pada anakku. Tadinya, aku tidak memperdulikan apa kata mereka walaupun aku sempat merasa tersinggung. Aku bertahan di tempat kerja saat itu karena memikirkan keuangan saja.
Aku hanya membutuhkan tempat cerita saat itu. Aku bercerita pada teman-temanku tentang bagaimana lingkungan kerjaku. Tapi ternyata mereka sama saja, menyalahkan aku karena lebih memilih bekerja ketimbang mengurus anak. Belum lagi mereka juga sering mengomentari anakku yang tidak segemuk anak lainnya. Aku semakin sadar, bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mendukungku.
Aku merasa bersalah pada suami, anak dan orang tuaku karena omongan mereka. Padahal, ibu dan ayah mengatakan bahwa mereka tidak keberatan sama sekali jika aku bekerja dan menitipkan anakku pada mereka. Justru mereka merasa sangat terhibur, karena di rumah sangat sepi dan mereka juga tidak bekerja. Suamiku juga tidak merasa diabaikan olehku, karena dia sangat paham aku bekerja juga demi keluarga. Aku tetap berusaha mengurus suami dan anakku.
Selama bertahun-tahun aku memutuskan bertahan berada dilingkungan orang-orang yang toxic. Awalnya aku bisa mengabaikan mereka, tapi semakin lama tidak bisa. Aku menjadi tidak fokus bekerja, karena terlalu memikirkan penilaian orang lain terhadapku, tidak nafsu makan, bahkan sering menangis tiba-tiba karena merasa bersalah. Suamiku yang mengetahui hal ini, menyuruhku untuk segera resign dan mencari pekerjaan baru.
Baca Juga: Setiap Orang Punya Cerita, Yuk Hargai Pilihan Sesama Wanita
Perlahan aku mulai menjauhi orang-orang yang tidak suportif. Aku berpindah tempat kerja dan keluar dari lingkaran perteman yang tak sehat. Sampai ketika aku mendapat pekerjaan baru, aku mencoba untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, seperti mendukung rekan kerja yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan memuji mereka supaya merasa dihargai atas usahanya.
Tak lupa dengan mencari teman-teman yang selalu mendukung dan terus memberikan masukan positif tanpa menjatuhkan. Ini yang aku lakukan hingga sekarang sampai aku merasa lebih bahagia setelah menjauhi mereka.
Kita perlu memilah dan memilih dalam hal pertemanan karena ini bisa memberi pengaruh besar dalam hidup. Dengan siapa kita berteman akan mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Jika memang apa yang mereka lakukan tidak sesuai prinsip hidupmu, ada baiknya perlahan menarik diri.
Sumber: Syifa, 29 tahun, nama disamarkan, di Jawa