UrbanWomen – Aku Nike, 32 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Dari kecil, aku sudah sering melihat kedua orang tuaku bertengkar hebat. Kedua orangtuaku memiliki watak yang keras. Ayah mudah tersulut emosi, begitu juga ibu. Terkadang aku berpikir, kenapa mereka menikah. Tapi, walaupun ibu juga orang yang sangat keras kepala, dibandingkan ayah, ibu lebih sering mengalah.
Ibu dan ayah yang sering bertengkar, memberi dampak pada anak-anaknya. Aku memiliki kakak laki-laki, tapi kami tidak pernah akur. Selalu bertengkar hingga dewasa, sampai terkadang aku merasa bahwa aku tidak pernah memiliki kakak. Aku tidak memiliki tempat bercerita, karena keluarga yang tidak harmonis.
Setelah bertahun-tahun menikah, rumah tangga ibu dan ayah semakin tidak rukun. Ketika bisnis ayah bangkrut, mereka jadi lebih sering bertengkar. Ayah memang tidak memukul, tapi tiap marah ayah membanting barang yang ada di rumah. Hampir semua perabotan rumah rusak karena pelampiasan amarahnya. Ayah juga sering merendahkan dan menyalahkan ibu ketika bertengkar.
Pertengkaran yang sering terjadi antara ibu dan ayah, menyebabkan ibu menjadi sering marah padaku. Ibu sering melampiaskan amarahnya padaku. Jika aku mendapatkan nilai yang tidak sesuai keinginannya di sekolah, dia memarahiku. Karena sering terjadi, ketika dewasa aku tumbuh menjadi orang yang pendiam dan tertutup.
Meskipun kedua orang tuaku tidak bercerai, tapi tetap saja rasanya seperti aku tidak memiliki keluarga yang utuh. Aku pernah mencoba bertanya pada ibu kenapa dia memilih untuk bertahan pada ayah di dalam hubungan yang seperti itu, tapi ibu hanya menjawab taku tidak memiliki keluarga yang utuh dan kasihan padaku jika tidak memiliki ayah.
Padahal, aku merasa bahwa selama ini ayah memang ada, tapi perannya tidak ada. Ayah hanya mencari uang, tapi tidak berperan dalam mendidikku. Setelah tumbuh dewasa, sempat terlintas dibenakku untuk tidak menikah, karena khawatir akan mendapat lelaki seperti ayah dan aku akan menderita seperti ibu. Setelah di usia 27 tahun, aku juga belum berpikir tentang pernikahan. Terkadang, aku merasa kagum pada orang-orang sekitarku yang berani untuk menikah. Karena pasti untuk memilih seseorang bersama kita seumur hidup perlu pertimbangan yang sangat matang. Belum lagi perlu mengorbankan beberapa hal seperti waktu, tenaga, dan lain sebagainya.
Aku yang hanya memikirkan semua itu saja sudah terbayang betapa lelahnya membangun sebuah hubungan. Sebelumnya, ada beberapa laki-laki yang mendekatiku tapi dia mirip dengan ayah. Ketika marah, dia mudah sekali membentak membuat aku menjadi takut dan tidak mau memulai hubungan. Aku juga tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Takut jika aku bercerita banyak yang menyalahkan aku sebagai anak yang tidak bisa berbuat apapun.
Selain tertutup, entah kenapa aku tumbuh menjadi orang yang mudah sekali marah karena hal kecil, seperti ketika temanku lupa mengembalikan barangku. Mungkin, ini juga salah satu alasan yang membuatku sulit menjalani hubungan dengan orang lain.
Bertahun-tahun menutup diri, akhirnya aku dipertemukan seorang laki-laki yang berasal dari keluarga harmonis. Ibu dan ayahnya begitu perhatian dan sayang padanya dan aku. Banyak hal yang membuat aku yakin padanya. Dia begitu sabar menghadapi aku yang mudah marah dan dia menyakinkan aku bahwa tidak semua laki-laki seperti ayahku melalui perlakuannya.
Baca Juga: Aku Belajar dari Pernikahan Kedua Orang Tua yang Bisa Langgeng hingga 24 Tahun
Setelah lama mengenalnya dan berpacaran selama 3 tahun, dia mengajak aku untuk menikah. Dari sini aku baru mengetahui ternyata masih laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Menikah tidak seburuk apa yang aku pikirkan. Tidak semua laki-laki sama, di luar sana masih banyak laki-laki yang begitu baik.
Orangtua yang sangat sering bertengkar di hadapan anak, bisa memberi berdampak buruk terhadap fisik dan mentalnya, hingga usianya dewasa. Jadi, sebisa mungkin perlihatkanlah kepada anak hal-hal baik dalam pernikahan kedua orangtuanya, supaya anak tidak menyimpulkan bahwa menjalin hubungan dengan seseorang itu menyeramkan dan semua laki-laki itu buruk.
Sumber: Nike, 32 tahun, nama disamarkan, di Jakarta