Suamiku

Suami Tak Pernah Merasa yang Paling Berkorban, Meski Aku Hanya Ibu Rumah Tangga

Kisah Utama

UrbanWomen – Namaku Siska, 25 tahun, ibu rumah tangga, di Jakarta. Masih banyak orang yang menganggap rendah ibu rumah tangga karena tidak menghasilkan uang. Namun justru aku merasa bersyukur, walaupun hanya menjadi ibu rumah tangga, aku merasa jika aku dan suami memiliki hubungan yang setara. Tidak ada yang merasa siapa yang paling hebat.

Di usia 20 tahun saat kami masih sama-sama bekerja, aku memutuskan menikah dengannya, karena suamiku seseorang yang logis. Jika ada suatu masalah, dia bisa memandang dari berbagai sisi dan mampu menguraikan masalah dengan baik. Sehingga membuatku lebih bisa mengerti orang lain, tidak hanya mementingkan diri sendiri. Ini sangat membantuku bertumbuh untuk menjadi orang yang lebih bisa mengendalikan emosi.

Selama kami berhubungan aku juga belajar memahami tentang orang seperti apa yang aku ingin nikahi dan mempelajari bagaimana cara berpikirnya. Apakah pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci piring hanya tugas perempuan saja atau tugas bersama. Lalu, aku juga memperhatikan bagaimana cara dia memandang perempuan, inilah dasar yang harus sudah ada, kalau berbeda harus disamakan terlebih dahulu sudut pandangnya. Karena cukup sulit jika kita ingin dihargai menjadi ibu rumah tangga, namun pasangan hanya menganggap bahwa pekerjaan rumah dan mengurus anak hanya tugas perempuan yang ringan.

Setelah kelahiran anak pertama, aku dan suami masih sama-sama bekerja. Saat itu, anak diasuh oleh orangtuaku. Selama aku bekerja selama 6 bulan, banyak terjadi perbedaan pola asuh anak antara kami dengan orangtua. Lalu, kami berunding apakah aku harus bekerja atau tidak. Ketika anak berusia 10 bulan, aku memutuskan untuk resign. Di sinilah aku sempat kerepotan mengurus anak, kami harus belajar banyak mengenai parenting. Suami selalu menguatkan dan banyak membantu mengurus anak ketika aku merasa stress. Tapi, aku tidak menyesal karena aku ingin anakku diasuh oleh ku bukan orang lain. 

Agar terciptanya hubungan yang setara, kami mau saling mendengarkan dan menghargai tanpa merasa siapa yang paling berkorban dan lelah. Suamiku tahu jika sebelumnya aku sudah bekerja, aku bisa saja memilih berkarir dan membiarkan anak kita diurus orang lain, sehingga suami memahami konsekuensinya jika aku bekerja. Jadi, di sini juga suami memahami bahwa aku berusaha keluar dari zona nyaman, aku mendedikasikan hidup untuk suami dan anak sehingga menjadi ibu rumah tangga saja.

Ketika aku sudah menjadi ibu rumah tangga, aku juga tidak menuntut suami untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, dengan catatan suami tidak terlalu banyak berkomentar, saling mengerti. Karena kami sepakat, bahwa fokus kita adalah mengurus anak. Memastikan pendidikannya,  makanan dan gizinya tercukupi. Tugas suami adalah bekerja untuk operasional rumah tangga bersama. Jadi, misalnya suami pulang kerja lalu melihat cucian piring bertumpuk, dia tidak akan bertanya lagi atau marah-marah kenapa cuciannya menumpuk. Jika suami tidak mau mencuci, aku juga harus mengerti bahwa suami juga lelah bekerja. Kami sama-sama merasa lelah, dan tak masalah jika pekerjaan rumah ditunda di hari berikutnya.

Ini semua kami komunikasikan, bukan semata-mata terjadi begitu saja dan berharap agar pasangan lebih peka. Karena aku pun sebagai istri belum tentu bisa membaca isi hati suami. Jadi, kuncinya adalah saling bicara perlahan-lahan. Namun, untuk mencapai ke titik ini, tidak mudah. Di awal berumah tangga, kami belum paham betul bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan pasangan. Tapi, kami tidak lelah untuk saling belajar memahami satu sama lain. Bagi kami, setara bukan berarti sama-sama unggul, tapi saling menghormati. Aku tetap menghormati keputusan dari suami, sedangkan suamiku bersedia mendengar masukan atau keluhan apapun dariku dengan baik.

Baca Juga: Belajar Berdamai dengan Bagian Diriku yang Sering Terabaikan

Untuk mendapatkan hubungan setara dalam rumah tangga perlu komunikasi, agar saling menyadari peran masing-masing. Tidak ada yang merasa siapa yang paling capek, berjuang, atau yang lebih berkorban. Sepakati pembagian tugas dan fokus dengan tanggung jawab masing-masing. Ketika salah satu merasa rapuh, kita perlu memberi support agar saling menyadari bahwa kita bisa karena bersama.

Sumber: Siska, 25 tahun, ibu rumah tangga, di Jakarta

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Menu