Kejadian ini berlangsung beberapa tahun semasa aku masih sekolah. Ya, ketika itu aku 16 tahun, kelas 2 SMA.
Pada masa itu aku suka sekali main Facebook. Aku berkenalan dengan seorang laki-laki melalui media sosial itu. Kami sering chatting. Sekitar 3 bulan kami memutuskan bertemu. Kami lantas sering jalan- jalan ke mall, nonton dan makan bersama, sampai kemudian kami berpacaran. Awalnya dia memperlakukanku dengan sangat manis, penuh pengertian. Dia juga sering menjemputku di sekolah. Umur 16 tahun dan diperlakukan seperti itu, tentu aku sangat senang. Setelah setahun berpacaran dia mengajakku ke tempat kosnya. Ya, dia tinggal di kos agar bisa pergi ke sekolah tak begitu jauh. Dia seumuran denganku, hanya saja kami beda sekolah.
Selama berada di kamar kosnya kami pun melakukan hal terlarang itu. Itu pengalaman pertamaku. Aku takut dan sangat menyesal. Aku tidak menyangka dia melakukannya padaku. Tapi aku tak menyalahkan dia sepenuhnya karena kami mau sama mau. Kuceritakan kejadian itu pada teman-temanku, sambil menangis karena menyesal. Temanku bilang, “Ya sudah, yang penting kamu nggak ulangi lagi.”
Aku pun berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Tapi lama-kelamaan aku merasa aneh. Bisa dibilang aku justru “ketagihan”. Setelah kami sering melakukannya, berubahlah sikapnya terhadapku. Aku pernah dikunci di kamar kosnya sementara dia pergi entah ke mana. Tingkahnya aneh. Seperti ada perempuan lain. Tiap kali kutanya dia, sekaligus berusaha memeriksa handphone-nya, dia menjadi kasar terhadapku.
Sesekali aku dipukulnya sampai timbul lebam. Selama itu, bodohnya aku tidak memikirkan diriku sendiri. Bukannya pergi meninggalkannya, aku justru bertahan dengannya. Aku merasa sangat menyayanginya. Memang bodoh, padahal itulah awal mula hancurnya masa depanku.
Aku selalu yakin dia bisa berubah, kembali manis seperti dulunya. Nyatanya tidak demikian. Sampai akhirnya aku hamil. Tidak ada teman-teman yang kuberitahu. Sekali waktu ada kegiatan pramuka sekolah, kami harus berkemah selama tiga hari. Kami berjalan cukup jauh dari sekolah sampai ke bumi perkemahan. Aku merasa lemas sekali, tapi tetap kupaksakan ikut kegiatan. Ketika harus memberitahukan keadaanku pada kedua orangtuaku aku merasa sungguh-sungguh menyesal. Ibuku menangis, dan aku belum pernah melihatnya menangis seperti itu. Aku merasa sangat bodoh, sudah mengecewakan orangtuaku.
Sementara pacarku malah asyik berpacaran dengan perempuan lain. Aku minta tanggung jawabnya untuk menikahiku. Tapi rasa bersalah masih menghantuiku sesudah kami menikah. Aku harus putus sekolah di kelas 3, dan dia pun demikian. Kami belum bekerja. Setelah aku melahirkan pun dia tidak menafkahiku dengan baik. Justru dia kembali berpacaran, dan aku bekerja sebagai SPG rokok.
Masuk usia empat tahun pernikahan aku memutuskan untuk berpisah. Dia masih kasar. Sakit hati, dan merasa jadi perempuan paling bodoh, tidak menghormati diri sendiri, itulah yang ada di kepalaku saat itu. Aku menyalahkan diri sendiri. Tapi kupikir aku tidak bisa seperti itu terus. Bagaimana masa depan anakku? Hingga kini sendirian kubesarkan anakku. Aku bekerja di restoran. Sementara aku bekerja anakku kutitipkan pada orangtuaku.
Setelah perjalanan panjang ini baru aku sadar. Kita harus menghormati diri sendiri. Boleh-boleh saja mencintai seseorang, tapi jangan berlebihan. Tetaplah memakai logika. Pertimbangkan, apakah orang yang kita cintai itu benar-benar menghargai, menghormati diri kita atau tidak. Tetaplah rasional, dan jadilah perempuan yang cerdas! (*)