UrbanWomen – Aku Nina, 26 tahun, karyawan swasta, di Jakarta. Setelah lulus, aku belum bisa berkuliah karena keterbatasan biaya. Teman-teman seusiaku banyak yang berkuliah, sedangkan aku memilih bekerja. Untuk mendapat pekerjaan aku juga sempat kesulitan. Tiap ada lowongan aku mencoba melamar. Beberapa kali alami kegagalan, namun aku tidak putus asa. Hingga akhirnya aku mendapat pekerjaan di restoran yang cukup terkenal.
Kurang lebih selama 3 tahun setelah bekerja, aku mulai iri melihat teman-temanku yang sedang asik kuliah, mulai menyusun rencana masa depan. Sedangkan hidupku monoton, bahkan merasa jika pekerjaan hanya sebatas kegiatan sehari-hari saja. Namun, aku tidak pantang menyerah yakin jika tidak ada kata terlambat jika masih memiliki niat untuk memulai.
Setelah uang terkumpul, aku memutuskan untuk berkuliah. Di saat teman-temanku sudah lulus, aku baru memulai. Rasanya aku tertinggal jauh dengan mereka. Belum lagi jika aku melihat di sosial media, banyak dari mereka yang sudah memiliki pacar. Membuat aku merasa semakin jauh tertinggal. Saat kuliah, aku sempat mengalami kesulitan mengumpulkan biaya. Aku tidak bisa meminta kepada orangtua, karena kondisi mereka yang juga kesulitan. Tapi untungnya aku mendapatkan pekerjaan sampingan yang sangat membantu biaya kuliahku.
Waktu itu, aku sangat merasa cemas tentang masa depanku. Dari hasil kerja keras, aku belum memiliki tabungan sama sekali karena digunakan untuk biaya kuliah. Tak hanya memikirkan soal pekerjaan, di usiaku juga sudah banyak teman-temanku yang menikah. Sedangkan aku masih dicemaskan soal jodoh. Aku menyalahkan diri sendiri, mungkin karena terlalu sibuk sehingga aku kesulitan mendapatkan pasangan. Tak ada hentinya, aku terus membandingkan diri dengan orang lain sampai membuatku stress dan terus menyalahkan keadaan.
Hingga aku berhasil lulus dan mendapatkan nilai terbaik, aku mencoba melamar ke perusahaan. Dengan bermodalkan gelar dan nilai, aku cukup percaya diri melamar dengan harapan ada kemajuan dalam hidupku. Alhasil, aku keterima di perusahaan tersebut. Dari sinilah mulai timbul rasa bangga pada diri sendiri. Mulai belajar berpikir bahwa sebetulnya hidupku tidak tertinggal dengan yang lain. Hanya saja, timeline setiap orang berbeda-beda.
Teman-teman seusiaku kini sudah banyak yang menikah, sedangkan aku masih merintis karir. Namun, aku berusaha untuk berhenti mencemaskan masa depan secara berlebihan. Sadar, jika membandingkan diri dengan orang lain bukan lagi hal yang baik ketika orang lain menjadi patokan kualitas hidup kita. Sehingga hal pertama yang aku lakukan adalah dengan mengenali pemicunya. Misalnya, ketika ada temanku yang selalu membicarakan kesuksesan, aku mencoba sesegera mungkin membicarakan hal lain bahkan menghindari temanku untuk sementara waktu.
Semakin dewasa, aku juga membatasi waktuku untuk bermain sosial media. Karena, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak berharga timbul karena pencapaian teman-teman yang aku lihat dari sosial media. Aku lebih sering menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan positif lainnya, seperti berolahraga, memasak, dan lain sebagainya. Aku juga mengatakan pada diri sendiri“aku adalah orang yang kuat dan aku tidak membutuhkan orang lain untuk menjadi bahagia.” Ini sangat berguna untuk mengurangi rasa cemas dan depresi.
Baca Juga: Khawatir Tentang Masa Depan, Aku Terus Berusaha Memperbaiki Diri
Menulis pencapaian juga sangat baik untukku. Mulai dari pencapaian karena bisa menghasilkan uang sendiri di usia muda, bahkan pencapaian kecil seperti aku bisa bangun lebih pagi. Ini sangat membantuku untuk mengurangi rasa cemas dan terus membandingkan diri dengan orang lain. Dan tak lupa bersyukur aku masih memiliki kedua orangtua.
Daripada terus menerus membuang waktu untuk berpikir secara berlebihan mengenai masa depan, lebih baik kita mempersiapkan diri untuk memulai dan menghadapinya sekarang. Lakukan yang terbaik dan percayalah pada diri sendiri bahwa kamu pasti bisa menghadapinya.
Sumber: Nina, 26 tahun, nama disamarkan, di Jakarta