UrbanWomen – Aku Dhina, 25 tahun, freelancer, di Jakarta. Ayahku adalah sosok yang tegas pada anak dan istrinya. Dia tak segan memukul jika aku melakukan kesalahan. Sosoknya yang tegas itu memang dibutuhkan seorang pemimpin rumah tangga. Tapi terkadang, ayah menjadi sosok yang begitu menakutkan. Ayah tidak pernah memeluk atau menanyakan bagaimana keadaanku. Menurutnya, sudah seharusnya ayah tegas pada anak-anaknya. Inilah yang dia lakukan untuk mendidikku.
Dari sinilah mulai terbangun jarak antara aku dan ayah. Aku tidak bisa terbuka padanya dan merasa kurang kasih sayang. Aku takut disalahkan jika bercerita sesuatu padanya. Inilah yang akhirnya membuat aku lebih memilih diam dan memendam sendirian. Sedangkan ibu juga diperlakukan seperti itu. Ibu juga takut banyak bicara pada ayah. Aku merasa tidak pernah merasa bahagia jika berada di rumah.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang teman yang bisa membuatku merasa senang. Tiap pulang kuliah, aku pasti main bersama teman-temanku. Aku selalu berbohong mengerjakan tugas sepulang kuliah, supaya tidak langsung pulang ke rumah. Hubunganku dengan ayah semakin tidak baik. Seperti ada jarak yang jauh diantara kami. Kadang, timbul rasa iri melihat temanku yang memiliki ayah penyayang.
Aku jadi sering mencari kesenangan di luar rumah. Aku mulai bertemu dengan teman-teman yang memiliki pergaulan tidak baik. Karena kurangnya peran ayah, aku jadi sulit membedakan manakah teman yang baik dan tidak. Entah kenapa, emosiku juga mudah meledak-ledak. Tiap pulang ke rumah, ayah tidak pernah bertanya secara baik-baik aku dari mana. Tiap pulang larut malam, ayah langsung memarahiku bahkan pernah memukulku.
Aku semakin merasa ayah tidak menyayangiku. Sedangkan aku mulai masuk ke dalam pergaulan tidak baik. Mulai berani mencoba rokok dan minum-minuman keras. Aku yang tidak pernah diberikan arahan oleh ayahku, hanya selalu dimarahi dan dipukul tiap melakukan kesalahan, tapi tidak memberikan penjelasan kenapa yang aku lakukan salah.
Aku semakin jarang pulang ke rumah. Ketika itu, ayah sangat marah padaku dan kami bertengkar hebat. Dari sinilah aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku membutuhkan perannya dalam mendidikku. Bukan berarti ayah harus kasar pada anaknya, tapi aku ingin ayah bisa menegurku dengan lembut. Aku ungkapkan semua kekesalanku padanya. Aku ingin ayah bisa menjadi teman cerita dan sering menghabiskan waktu untukku. Saat kami bertengkar ibu hanya bisa menangis.
Saat aku sudah bisa mengeluarkan semua keluh kesahku, baru ayah menyadari. Aku sempat berpikir “Apakah kami harus bertengkar dulu biar ayah sadar?” Setelah pertengkaran itu, aku mencoba tidak lagi keluar rumah, hanya di kamar seharian. Dari sinilah aku merasa ayah perlahan mulai berubah menjadi lebih baik.
Baca Juga: Dampak Fatherless pada Perkembangan Psikologis dan Cara Mengatasinya
Dia mulai sering bertanya bagaimana keadaanku dan akupun mulai terbuka padanya. Setelah sekian lama, hubungan kami semakin dekat dan membaik. Ayah juga memberitahuku hal yang buruk dan baik. Aku mulai berani memutus hubungan dengan teman-temanku yang toxic, pergaulan yang buruk. Aku senang ayah akhirnya sadar. Aku dan ibu sering diajak keluar jalan-jalan hampir setiap hari minggu. Tak kusangka, karena kami bertengkar hebat, bisa mengubah semuanya menjadi lebih baik. Sampai saat ini hubunganku dengan ayah baik, walaupun masih merasa canggung satu sama lain.
Dengan adanya peran ayah, anak tidak kehilangan arah. Anak tidak mudah terjerumus ke pergaulan tidak baik dan mencari kesenangan di luar sana. Jadilah sosok ayah yang tegas namun penyayang supaya anak bisa lebih dekat namun tetap hormat pada ayahnya.
Sumber: Dhina, 25 tahun, nama disamarkan, di Jakarta