Urbanwomen – Aku Dilla, 23 tahun, mahasiswa di Bandung. Aku pernah hidup dalam keluarga yang toxic. Aku lahir saat kondisi keluargaku sangat payah. Dengan gaji yang sangat minim ayahku masih harus kuliah dan membiayai rumah tangga, selain menyerahkan sebagian penghasilan kepada orangtuanya. Ayahku sulung dari 11 bersaudara dan satu-satunya yang bekerja. Pernikahannya dengan ibuku tidak direstui. Ibuku dari keluarga kekurangan, dan janda, yang dipandang negatif oleh keluarga besar ayahku. Ditentang habis-habisan tidak membuat orangtuaku menyerah. Mereka tetap menikah tanpa kehadiran orangtua ayahku.
Semasa aku dan kakakku masih kecil kami hidup di lingkungan yang amat berbeda dengan keadaan kami. Kami tinggal di komplek, hampir semua warganya orang berada. Dapur kami beratapkan langit, lantai tanah, dindingnya seng bekas, berantakan tiap kali kena angin kencang. Dengan keadaan finansial yang sangat buruk dan tekanan hidup yang besar ayahku menjadi sangat emosional dan tidak masuk akal. Sensitif, juga amat pencemburu, tidak segan-segan membanting barang-barang jika sedang marah dan kerap dengan alasan tidak jelas. Perlakuannya terhadap kami anak-anaknya pun kasar sekali. Gagal menceburkan kepalaku ke dalam bak mandi karena dicegah oleh ibuku, ayahku beralih memukul ibuku. Karena tidak terima, aku melawan dan berujung kembali terkena serangannya. Aku tumbuh sebagai anak kecil yang frontal dan pemberani. Aku tidak segan segera mengoreksi segala sesuatu yang salah di sekitarku. Tidak peduli siapa, aku akan memerangi sikap tidak adil. Sering sekali aku bertengkar dengan ayahku, berujung dengan pecahnya barang.
Ayahku menganggap dirinya bagai dewa dan orang lain di rumah tidak lebih dari dayang-dayang yang harus sigap menuruti segala kemauannya. Ibuku adalah perempuan malang korban sikap patriarki suaminya. Pendapatnya dibungkam, mulutnya seakan dikebiri. Sementara ayahku sendiri suka menuduh, karena kecemburuannya yang kelewat batas. Termasuk menuduh ibuku berselingkuh. Hampir semua laki-laki di dunia ini dicemburui ayahku, tidak terkecuali tukang sayur, tukang sampah, tetangga berduit sampai tetangga yang pengangguran. Padahal ibuku hanya bersikap ramah pada mereka. Gilanya, ibuku bahkan dianggapnya sebagai pemeran video porno hanya karena si pemeran itu memakai daster mirip punya ibuku.
Ibuku jadi merasa tidak punya harga diri. Ayahku sendiri selalu santai dan merasa tidak berdosa.
Sewaktu kakakku berkuliah di universitas negeri di Bandung dan aku di universitas negeri di Purwokerto, jarak membuatku tidak bisa membantu kakak dan ibu ketika mereka berada dalam masalah di rumah. Kakakku introver, memilih diam dan mengerjakan semua suruhan ayahku, berbeda dengan diriku yang sangat vokal dan diberi kebebasan lebih sehingga ayahku bisa mendengarkan aku dan menurut padaku. Tapi akhirnya kakakku tidak lagi kuat menahan tekanan dan drop-out dari kuliahnya. Aku bukan tidak pernah berusaha membantunya, termasuk datang ke Bandung sambil menunda tugas KKN untuk minta tolong teman-teman sekampusnya. Aku memikirkan kesehatan mentalnya. Namun, sekuat apapun upaya kami, keputusan kakakku untuk berhenti kuliah sudah bulat.
Ayahku mengamuk, lantas memperlakukan kakakku dengan sangat tidak baik, kadang berteriak-teriak bagai orang kesetanan yang akan membunuh kakakku demi hal kecil yang membuatnya marah. Keputusan berhenti kuliah itu memukul ayahku. Anak kesayangannya yang sangat pintar, IPK-nya tinggi dan begitu diharapkan, melepas kuliah. Ayahku mulai mengungkit masalah biaya, sementara ibuku hanya bisa menangis melihat kakakku. Aku sendiri pernah menemukan history pencarian Google di handphone kakakku dan menemukan pencarian tentang cara bunuh diri. Kakakku tidak makan, hanya menangis dan mengurung diri. Aku juga menangis melihat orang yang paling kusayangi itu. Kuajak dia jalan-jalan dan melakukan kesibukan, sampai akhirnya kuputuskan aku harus bicara dengan orangtuaku.
Kuminta ayahku berhenti menekan kakakku. Kuungkapkan juga kesalahan orangtuaku, dan betapa ayahku adalah sosok yang toxic dan berbahaya. Aku sedih, sekaligus muak, karena kami seakan tidak punya pilihan selain menerima sikap ayahku. Aku juga berterus terang, bahwa aku sendiri punya masalah di kuliahku, termasuk bahwa aku menjadi perokok dan mengonsumsi minuman beralkohol demi membuatku merasa tenang. Kuminta pengertian orangtuaku seraya menjanjikan masa depan yang baik untuk kakakku. Kami bertiga menangis, dan esoknya ayahku minta maaf pada kakakku.
Baca Juga: Selamat Tinggal, Toxic Relationship!
Kami sekarang menjadi keluarga yang lebih baik. Tingkat emosi ayahku pun menurun drastis. Meski tidak selesai kuliah, kakakku sekarang bekerja di instansi pemerintah bidang kehutanan. Aku berhenti merokok. Sejatinya, sebagai keluarga, kami hanya perlu meluaskan hati, berkomunikasi, dan saling memahami. Apakah itu orangtua, atau anak, sesungguhnya tidak berada dalam kedudukan saling merendahkan. Kita, manusia ini, pada hakikatnya sama-sama punya hak dan butuh dihargai.
Sumber: Dilla